Dari Pementasan “Republik Togog” Teater Koma
HUMOR adalah sebuah sketsa vibrasi keluhan dan potret sosial masyarakat (bahkan juga situasi perpolitikan nasional). Ia menjadi satire, sebuah arena kegetiran yang coba ditumpahkan ke dalam fantasi senyum. Ia menjadi medan penumpahan emphasis (tekanan) keseriusan untuk disatirkan. Tentunya, latar belakang kehadiran humor karena adanya friksi sosio-kultural dan sosio-politis yang menggumpal. Itulah sesungguhnya yang hendak disampaikan Teater Koma dalam pementasan “Republik Togog” di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), mulai 28 Juli hingga 6 Agustus mendatang.
Togog itu sebenarnya bukan siapa-siapa. Ia hanya rakyat biasa yang dipenuhi ambisi untuk menguasai Kerajaan Amarta. Anehnya, penyamaran Togog menjadi resi (ahli agama- red.) tak disadari oleh Raja Amarta, Samiaji. Sebaliknya, Samiaji–putra spiritual Batara Darma, dewa paling bijak di Khayangan–menuruti apa pun yang diperintahkan, termasuk menjadikan adik tirinya, Sadewa (salah satu dari lima pandawa), menjadi tumbal dengan alasan untuk kemakmuran negeri.
Samiaji seperti “kerbau dicocok hidung”. Pun demikian halnya dengan Dewi Kunti (ibunda Samiaji). Puncaknya, Samiaji berniat menjadikan Tejamantri sebagai putra mahkota sekaligus menjadikannya sebagai suami Roro Parwita, putri angkat Samiaji.
Sayangnya, saat gonjang-ganjing itu bermula, para penasihat spiritual pandawa, yakni Kresna dan Betara Ismaya alias Semar, tengah tak berada di Amarta. Keduanya hilang lejam, tak tentu rimbanya.
Gonjang-ganjing itu semakin parah menyusul campur tangan Betari Durga, sosok jahat yang menginginkan kecantikan untuk kemudian merayu Arjuna. Melalui pelayan setianya Kalika, Durga berhasil menghasut Samiaji agar mau menjadikan Sadewa sebagai tumbal.
Alasannya setali tiga uang dengan yang diumbar Togog, demi kemakmuran negeri Amarta. Padahal, sesungguhnya, tumbal itu semata-mata dilakukan sebagai syarat agar Betari Durga mendapatkan kembali kecantikannya.
Sebenarnya, kejanggalan demi kejanggalan itu sudah dirasakan oleh sejumlah penghuni istana, seperti Limbuk (pelayan Drupadi), Drupada (ayah Drupadi sekaligus mertua Samiaji), dan Raden Gatutkaca. Sekali lagi, Samiaji memang sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya. (Sepertinya ia memang seorang raja yang tak pernah belajar dari kesalahan masa lalu, khususnya saat diliciki Sakuni dalam permainan dadu yang memalukan). Ia seolah menutup kuping terhadap semua nasihat dari para bijak di istana. Dalam hitungan hari, Tejamantri dan Betari berhasil menguasai kerajaan.
Alhasil, berita gonjang-ganjing itu sampai juga ke Kelurahan Karang Tumaritis, tempat di mana para panakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, bermukim. Kepedulian kepada nasib bangsa akhirnya membawa para panakawan itu mengunjungi Kerajaan Amarta. Meski rakyat biasa, “titah” Semar punya tuah. Apalagi, kala itu, Semar turut dibantu Sri Kresna yang sekaligus penasihat spiritual Pandawa Lima. Samiaji dan Dewi Kunti pun berhasil kembali disadarkan.
Penyamaran Togog bisa dibongkar. Dan, Roro Parwita dikembalikan kepada kekasihnya, Raden Ariadewa — putera mahkota Kerajaan Girikencana.
**
SEPERTI biasa, Nano mengemas lakon itu dengan humor. Ya, sebuah humor yang matang. Tidak hanya joke-joke ringan, kelugasan wajah, dan gerakan verbalistik yang memancing tawa. Alhasil, humor yang disajikan Teater Koma, tadi malam, mampu meregum piranti kecerdasan sekaligus kejeniusan seorang Nano Riantiarno, sang sutradara. Ia demikian piawai mengakumulasikan energi psikis yang memang diharapkan khalayak penonton.
Dalam produksi teaternya yang ke-103 itu, Nano menyajikan sebuah “penafsiran kembali” lakon wayang yang disebutnya sebagai carangan, versi, atau sempalan. Buktinya, Nano berhasil mengubah sosok Betari Durga yang ganas sekaligus kejam menjadi sosok gemulai yang kebanci-bancian. Ia berhasil mengubah Gatutkaca yang ksatria santun dan hemat bicara menjadi sosok yang berkepribadian Batak. Ia pun “mengacak-acak” sosok para panakawan menjadi orang Tegal, Jawa, Betawi, dan Sunda.
Sayangnya, lakon itu terasa terlalu panjang. Adegan verbal (dan juga serius) para penghuni istana dirasa amat menjemukan. Meskipun, sebenarnya tak ada yang salah jika dilihat dari faktor penguasaan panggung Cornelia Agatha (Roro Parwita), Ratna Riantiarno (Dewi Kunti), Sriyatun Arifin (Drupadi), Salim Bungsu (Kresna), maupun puluhan pemain lainnya. Untungnya, Nano berhasil menyulap lakon panjang itu menjadi “berwarna” menyusul kehadiran sosok jenaka dalam diri Limbuk (Tuti Hartati), Gatutkaca (Vincentius Ramco Sinaga), maupun para panakawan. Meski tak sering, pengunjung tampak selalu menunggu kehadiran gerak-gerik dan ucapan konyol mereka.
Tema tunggal yang hendak disampaikan Teater Koma lewat “Republik Togog” itu adalah sesungguhnya manusia tak lebih dari wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia tak berdaya karena memang alur cerita bukan milik manusia. Sebagai wayang, tentu garis nasib berada di tangan dalang. Akan tetapi, terkadang manusia tinggi hati dan sering “kerasukan”. Merasa lebih dari dalang, manusia menganggap diri berkuasa.
Pada episode “Republik Togog”, kedua tokoh panutan Lima Pendawa itu menghilang. Tak heran, jika berbagai kekuatan jiwa para satria jadi melemah. Jika lakon tersebut hendak dijadikan metafora zaman, mungkin akan timbul dua pertanyaan “apakah sesungguhnya Indonesia kehilangan Semar dan Kresna?” lalu “mengapa?” Soalnya, meskipun kemudian kedua tokoh itu hadir (dan menyelesaikan masalah di Amarta), peristiwa itu tetap bagaikan sebuah mimpi. Pemunculan kedua tokoh itu hanya sebuah “bonus maya” dalam suasana keputusasaan.
Hanya setitik harapan, saat gonjang-ganjing berlangsung terlalu lama. Togog itu ada di mana-mana. Dia mungkin masih menyelusup, menyihir, sekaligus memprovokasi. Ia menjelma sebagai politisi. Ia menjelma dalam sosok pejabat. Bahkan, ia menjelma menjadi ulama. Tak heran, jika kemudian kekacauan itu selalu ada. (Hazmirullah/”PR”)***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/29/0104.htm
29 Juli 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar