Jumat, 09 Desember 2011

AC MILAN

Ac Milan adalah sebuah klub sepak bola Italia yang berbasis di Milan. Mereka bermain dengan seragam bergaris merah-hitam dan celana hitam, sehingga dijuluki Rossoneri(“merah-hitam”). Milan adalah tim tersukses kedua dalam sejarah persepak bolaan Italia, menjuarai Seri A 17 kali dan Piala Italia lima kali.
Klub ini didirikan pada tahun 1899 dengan nama Klub Kriket dan Sepak bola Milan (Milan Cricket and Football Club) oleh Alfred Edwards, seorang ekspatriat Inggris. Sebagai penghormatan terhadap asal-usulnya, Milan tetap menggunakan ejaan bahasa Inggris nama kotanya (Milan) daripada menggunakan ejaan bahasa Italia Milano.
Stadion tim saat ini adalah Stadion Giuseppe Meazza atau yang dikenal dengan sebutanSan Siro yang berkapasitas 85.000 orang. Stadion ini digunakan bersama denganInternazionale (”Inter milan”), klub besar lain di Milan. Suporter AC Milan menggunakan “San Siro” untuk menyebut stadion itu karena dulunya Giuseppe Meazza merupakan seorang pemain bintang bagi Inter.
Secara sejarah, AC Milan (dipanggil dengan “Milan” saja di Italia) didukung oleh para pekerja dan para buruh di Milan, sementara Inter lebih didukung orang-orang kaya. Meskipun begitu, pada beberapa tahun terakhir, basis pendukung telah banyak berubah. Milan kini dimiliki oleh raja media dan perdana menteri Italia saat ini, Silvio Berlusconi

Stadion:
Giuseppe Meazza (sansiro)

Giuseppe Meazza (sansiro)

Pemain Bintang yang pernah dan masih dimiliki
Renzo De Vecchi, Cesare Maldini, Karl Heinz Schnellinger, Kurt Hamrin, Sandro Salvadore, Juan Alberto Schiaffino, Jose Altafini, Gunnar Gren, Ruud Gullit, Marco van Basten, Frank Rijkaard, Gunnar Nordahl, Nils Liedholm, Gianni Rivera, Luther Blissett, Franco Baresi, Giovanni Trapattoni, Angelo Sormani, Roberto Donadoni, George Weah, Demetrio Albertini, Paolo Di Canio, Roberto Baggio, Zvonimir Boban, Gianluigi Lentini, Carlo Ancelotti, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Cafu, Andriy Shevchenko, Hernán Crespo, Filippo Inzaghi, Jean-Pierre Papin, Dejan Savicevic, Ray Wilkins, Jimmy Greaves, Jaap Stam, Alessandro Nesta, Kaká, Ronaldinho, pato.

Kapten Milan yang baru saja pensiun :
paolo maldini

legenda milan

nah, ini profil nya:
Nama : Paolo maldini
Lahir : 26/06/1968 (Milan)
Posisi : Defender
Height : 1.86m
Weight: 83 Kg
Negara: Italy
Pertandingan professional pertama melawan : Udinese – Milan : 1-1 on 20/01/1985

Kostim yang pernah dipakai AC MILAN:
kostim

kostim

daftar juara yang pernah di dapat :

Seri A:
Juara (17): 1901; 1906; 1907; 1950-51; 1954-55; 1956-57; 1958-59; 1961-62; 1967-68; 1978-79; 1987-88; 1991-92; 1992-93; 1993-94; 1995-96; 1998-99; 2003-2004

Seri B:
Juara (2): 1980–81; 1982–83

Copa Italia:
Juara (5): 1966–67; 1971–72; 1972–73; 1976–77; 2002-03
Runner-up (7): 1941–42; 1967–68; 1970–71; 1974–75; 1984–85; 1989-90; 1997-98

Piala Super Italia:
Juara (5): 1988; 1992; 1993; 1994; 2004
Runner-up (3): 1996; 1999; 2003

Piala/Liga Champions:
Juara (7): 1962-63; 1968-69; 1988-89; 1989-90; 1993-94; 2002-03; 2006-07
Runner-up (4): 1957-58; 1992-93; 1994-95; 2004-05

Piala Super Eropa:
Juara (5): 1989; 1990; 1994; 2003; 2007
Runner-up (2): 1973; 1993

Piala Winners:
Juara (2): 1967–68; 1972–73
Runner-up (1): 1973–74

Piala Interkontinental / Piala Dunia Antarklub FIFA:
Juara (4):1969; 1989; 1990; 2007
Runner-up (4): 1963; 1993; 1994; 2003

Skuad musim ini :
No. Posisi Nama pemain

1 GK Nélson “Dida” de Jesus Silva
4 DF Kakhaber “Kakha” Kaladze
5 DF Oguchi Onyewu
7 FW Alexandre Pato
8 MF Gennaro Gattuso (Wakil Kapten)
9 FW Filippo Inzaghi
10 MF Clarence Seedorf
11 FW Klaas-Jan Huntelaar
12 GK Christian Abbiati
13 DF Alessandro Nesta
15 DF Gianluca Zambrotta
16 MF Mathieu Flamini
17 FW Gianmarco Zigoni
18 DF Marek Jankulovski
19 DF Giuseppe Favalli
20 MF Ignazio Abate
21 MF Andrea Pirlo
22 FW Marco Borriello
23 MF Massimo Ambrosini ( Kapten)
25 DF Daniele Bonera
30 FW Amantino Mancini (Pinjaman dari klub Inter Milan)
31 GK Flavio Roma
32 MF David Beckham (Pinjaman dari klub LA Galaxy)
33 DF Thiago Emiliano da Silva
40 FW Dominic Adiyiah
44 DF Massimo Oddo
50 GK Fillipo Perucchini (Dari AC Milan Primavera)
51 MF Rodney Strasser
58 FW Simone Verdi
77 DF Luca Antonini
80 FW de Assis Ronaldinho

Pelatih AC MILAN sekarang:
Massimiliano Allegri

Massimiliano Allegri

Musim 2010/2011, Milan dipimpin oleh Massimiliano Allegri, dengan berbagai pembaruan mulai dari sponsor (bwin.com digantikan Emirates), hingga lini pemain. Di akhir bursa transfer, secara mengejutkan Milan memboyong Zlatan Ibrahimovic dari F.C. Barcelona (dengan opsi pinjaman dan pembelian 24 juta Euro di akhir musim), dan Robinho dari Manchester City.

Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda

Masyarakat awam selalu mengatakan bahwa kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Benarkah demikian? Untuk ke sekian kalinya, harus ditegaskan bahwa "Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun". Masyarakat memang tidak bisa disalahkan karena anggapan itu sudah tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah sejak Indonesia merdeka! Tidak bisa disalahkan juga ketika Bung Karno mengatakan, "Indonesia dijajah selama 350 tahun!" Sebab, ucapan ini hanya untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia saat perang kemerdekaan (1946-1949) menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Bung Karno menyatakan hal ini agaknya juga untuk meng-counter ucapan para penguasa Hindia Belanda. De Jong, misalnya, dengan arogan berkata, "Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan masih akan berkuasa 300 tahun lagi!" Lalu Colijn yang dengan pongah berkoar, "Belanda tak akan tergoyahkan karena Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di Alpen."

Tulisan ini akan menjelaskan bahwa anggapan yang sudah menjadi mitos itu, tidak benar. Mari kita lihat sejak kapan kita (Indonesia) dijajah dan kapan pula penjajahan itu berakhir.

Kedatangan penjajah

Pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakalapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.

Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan "gospel, glory, and gold" mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.

Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.

Kunjungan pertama tidak berhasil karena sikap arogan Cornelis de Houtman. Pada 1 Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangannya ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Dengan belajar dari kesalahan Cornelis de Houtman, mereka berhasil mengambil simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan Banten. Ketiga kapal kembali ke negerinya dengan muatan penuh. Sementara itu, kapal lainnya meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku untuk mencari cengkih dan pala.

Dengan semakin ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan konflik pun meningkat. Baik di antara sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris. Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada 1602 di Amsterdam dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari berbagai perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu diberi nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (Serikat Perusahaan Hindia Timur) disingkat VOC.

Pemerintah Kerajaan Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi "izin dagang" (octrooi) pada VOC. VOC boleh menjalankan perang dan diplomasi di Asia, bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi perdagangannya. VOC juga boleh memiliki angkatan perang sendiri dan mata uang sendiri. Dikatakan juga bahwa octrooi itu selalu bisa diperpanjang setiap 21 tahun. Sejak itu hanya armada-armada dagang VOC yang boleh berdagang di Asia (monopoli perdagangan).

Dengan kekuasaan yang besar ini, VOC akhirnya menjadi "negara dalam negara" dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC. Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya sebatas menjadi "tusschen personen" (perantara) penguasa VOC dan rakyat.

"Power tends to Corrupt." Demikian kata Lord Acton, sejarawan Inggris terkemuka. VOC memiliki kekuasaan yang besar dan lama, VOC pun mengalami apa yang dikatakan Lord Acton. Pada 1799, secara resmi VOC dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai dari "cacing cau" hingga Gubernur Jenderalnya. Pemerintah Belanda lalu menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasainya di Indonesia, seperti kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara Pulau Jawa.

Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912).

Peperangan di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh. Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa pula bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.

Saat-saat akhir

Pada 7 Desember 1941, Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagano melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di Pearl Harbour, Hawaii. Akibat serangan itu kekuatan angkatan laut AS di Timur Jauh lumpuh. AS pun menyatakan perang terhadap Jepang. Demikian pula Belanda sebagai salah satu sekutu AS menyatakan perang terhadap Jepang.

Pada 18 Desember 1941, pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui radio menyatakan perang terhadap Jepang. Pernyataan perang tersebut kemudian direspons oleh Jepang dengan menyatakan perang juga terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah armada Sekutu dapat dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Pada waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia Belanda (KNIL). Selanjutnya kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Kota Bandung.

Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Syoji. Pada saat itu satu detasemen pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit yang khusus ditugasi untuk merebut Kota Bandung. Satu batalion bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalion ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai Cipunagara. Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.

Pada 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Kalijati disiapkan untuk menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan selanjutnya menyerbu Bandung. Akibat serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang dijadikan benteng terakhir pertahanan Belanda.

Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J. Pesman agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung dan menyarankan mengadakan perundingan mengenai penyerahan pasukan yang berada di garis Utara-Selatan yang melalui Purwakarta dan Sumedang. Menurut Jenderal Ter Poorten, Bandung pada saat itu padat oleh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, dan apabila terjadi pertempuran maka banyak dari mereka yang akan jadi korban.

Pada 7 Maret 1942 sore hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Mayjen J. J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah itu. Kolonel Syoji menjawab bahwa untuk perundingan itu harus dilakukan di Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat UPI Bandung). Sementara itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel Syoji segera memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan perundingan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi. Akan tetapi, Letnan Jenderal Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul itu ditolak.

Jenderal Imamura mengeluarkan peringatan bahwa "Bila pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangkat ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai hancur." Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, di atas Kota Bandung tampak pesawat-pesawat pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk melaksanakan tugasnya.

Melihat kenyataan itu, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda beserta para pembesar tentara Belanda lainnya berangkat ke Kalijati sesuai dengan tanggal dan waktu yang telah ditentukan. Pada mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia menyampaikan kapitulasi Bandung. Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan itu dan akan melaksanakan ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Keesokan harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam siaran radio Bandung, terdengar perintah Jenderal Ter Poorten kepada seluruh pasukannya untuk menghentikan segala peperangan dan melakukan kapitulasi tanpa syarat.

Itulah akhir kisah penjajahan Belanda. Setelah itu Jepang pun menduduki Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus 1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan hari.

Analisis

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menghitung berapa lama sesungguhnya Indonesia dijajah Belanda. Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun. Namun, tahun 1596 itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang. Tahun 1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).

Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.

Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara.


Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat/Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad.

10 Bahasa Yang Paling Banyak Digunakan di Dunia

Terdapat 10 bahasa terbesar di dunia yang paling banyak ditututkan oleh umat manusia di belahan bumi ini. Saat ini mungkin katalog bahasa terlengkap adalah katalog yang dikeluarkan oleh Organisasi Ethnologue. Dalam edisi ke-16 versi elektronis Ethnologue : Languages of the World, ada setidaknya 6.909 bahasa yang masih dibicarakan saat ini.

Menurut Ethnologue, saat ini ada sekitar 6.912 bahasa yang dituturkan orang di seluruh dunia. Jumlah ini tentu saja masih diragukan keakuratannya karena tiap hari ada bahasa baru yang mungkin muncul, sebaliknya ada pula bahasa yang punah. Bahasa Indonesia masuk dalam 10 besar bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia.

Dan Inilah 10 Bahasa Yang Paling Banyak Digunakan di Dunia

1. Bahasa Mandarin

Bahasa Mandarin adalah dialek Bahasa Tionghoa yang dituturkan di sepanjang utara dan barat daya Republik Rakyat Cina. Kata “Mandarin”, dalam bahasa Inggris (dan mungkin juga Indonesia), digunakan untuk menerjemahkan beberapa istilah Cina yang berbeda yang merujuk kepada kategori-kategori bahasa Cina lisan. Dalam pengertian yang sempit, Mandarin berarti Putonghua dan Guoyu yang merupakan dua bahasa standar yang hampir sama yang didasarkan pada bahasa lisan Beifanghua*.



2. Bahasa Inggris

Bahasa Inggris adalah sebuah bahasa yang berasal dari Inggris, merupakan bahasa utama di Britania Raya (termasuk Inggris), Amerika Serikat, serta banyak negara lainnya, dan termasuk rumpun bahasa Jermanik Barat.

Bahasa ini berawal dari kombinasi antara beberapa bahasa lokal yang dipakai oleh orang-orang Norwegia, Denmark, dan Anglo-Saxon dari abad ke-6 sampai 10. Lalu pada tahun 1066 dengan ditaklukkan Inggris oleh William the Conqueror, sang penakluk dari Normandia, Perancis Utara, maka bahasa Inggris dengan sangat intensif mulai dipengaruhi bahasa Latin dan bahasa Perancis.



3. Bahasa Hindi

Bahasa Hindi adalah bahasa resmi di India selain Bahasa Inggris, dan bahasa ini merupakan salah satu bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di dunia setelah Bahasa Tionghoa dan Bahasa Inggris.

Bahasa ini merupakan saudara kembar Bahasa Urdu. Bahasa Hindi menjadi bahasa nasional India selain Bahasa Inggris. Disamping itu menjadi bahasa resmi di negara bagian Himachal Pradesh, Delhi, Haryana, Uttar Pradesh, Chandigarh, Bihar, Madhya Pradesh dan Rajashtan. Disamping itu, juga dipakai luas di kota Bombai dan Hyderabad. Sekitar 180 juta orang India menganggap bahasa Hindi sebagai bahasa ibunya, sedangkan 300 juta lainnya menggunakannya sebagai bahasa kedua atau kesekian.



4. Bahasa Spanyol

Bahasa Spanyol adalah suatu bahasa Iberia-Roman, dan bahasa keempat yang paling banyak digunakan di dunia. Bahasa Spanyol merupakan bahasa pertama bagi sekitar 500 juta orang di dunia, atau bagi 600 juta orang jika termasuk non-penutur asli (menurut perkiraan pada tahun 1999). Mayoritas penutur bahasa Spanyol kebanyakan di Amerika Latin.



5. Bahasa Rusia

Bahasa Rusia merupakan bahasa terbesar ke-5 dari segi jumlah penuturnya, (setelah bahasa Mandarin, Inggris, Spanyol dan Hindi), dan merupakan bahasa resmi Perserikatan Bangsa Bangsa (selain bahasa Arab, Prancis, Mandarin, Inggris dan Spanyol), dengan jumlah penutur sebanyak 278 juta jiwa, bahasa Rusia dituturkan secara luas di 17 negara di 2 benua dan menempati peringkat ke 5 terbesar setelah bahasa Mandarin, Inggris, Hindi dan Spanyol.



6. Bahasa Arab

Bahasa Arab adalah salah satu bahasa Semitik Tengah, yang termasuk dalam rumpun bahasa Semitik dan berkerabat dengan bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Neo Arami. Bahasa Arab memiliki lebih banyak penutur daripada bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Semitik. Ia dituturkan oleh lebih dari 280 juta orang sebagai bahasa pertama, yang mana sebagian besar tinggal di Timur Tengah dan Afrika Utara.



7. Bahasa Bengali

Bahasa Bengali adalah anak cabang dari Bahasa Indo-Arya. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di dunia, dengan penutur lebih dari 200 juta jiwa yang masing-masing berada di Bangladesh (sekitar 120 juta), India (±70 juta). Di India, Bahasa Bengali dituturkan di negara bagian Bengala Barat, Assam, Tripura hingga Manipur, di samping penutur yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Bahasa Bengali dibagi menjadi dua dialek sosial yakni, yang disebut sebagai Shadhu Bhasa (yakni bahasa standar)yang didasarkan pada dialek kota Kolkata, sedangkan Cholit Bhasa adalah bahasa non-standar yang tergantung pada wilayah tutur Bahasa itu sendiri. Di Bangladesh, bahasa Bengali didasarkan pada dialek yang dipakai di kota Dhaka.



8. Bahasa Portugis

Bahasa Portugis adalah sebuah bahasa Roman yang banyak dituturkan di Portugal, Brasil, Angola, Mozambik, Tanjung Verde, dan Timor Leste. Banyak ahli bahasa yang menganggap bahasa Galisia, bahasa daerah di Galisia, Spanyol, sebenarnya adalah sejenis Portugis yang telah dipengaruhi dengan kuat oleh bahasa Spanyol. Dengan lebih dari 200 juta penutur asli,

Portugis adalah salah satu bahasa yang dituturkan secara luas di dunia dan merupakan bahasa yang paling banyak dituturkan kelima atau keenam di dunia. Bahasa Portugis menjadi bahasa yang paling banyak digunakan di Amerika Selatan karena Brasil, dengan 184 juta penduduknya, membentuk sekitar 51% dari seluruh populasi Amerika Selatan. Bahasa Portugis menyebar ke penjuru dunia pada abad ke-15 dan abad ke-16 saat Portugal menciptakan kerajaan kolonial dan perdagangan pertama dan yang terlama di dunia pada zaman modern (1415–1975), dari Brasil di Amerika hingga Makau di Tiongkok. Hasilnya, bahasa Portugis kini adalah bahasa resmi di beberapa negara dan dituturkan atau dipelajari secara luas sebagai bahasa kedua di banyak negara lainnya. Hingga kini masih terdapat lebih dari 20 macam dialek Portugis. Portugis adalah bahasa minoritas yang penting di Andorra, Luxemburg dan Namibia. Komunitas imigran berbahasa Portugis yang besar terdapat di banyak kota di seluruh dunia, termasuk Paris di Perancis dan Boston, New Bedford (di Massachusetts), Cape Cod, dan Newark (di New Jersey) di Amerika Serikat. Portugis akrab dipanggil A língua de Camões (“Bahasa Camões”, dinamakan menurut Luís de Camões, pengarang Os Lusíadas); A última flor do Lácio (“Bunga terakhir Latium”).



9. Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja. Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19.



Bahasa Indonesia menduduki peringkat 3 di Asia dan peringkat ke 26 di dunia dalam hal Tata bahasa terumit di dunia. Bahasa Indonesia juga mendunia di dunia maya, wikipedia berbahasa Indonesia telah menduduki peringkat 26 dari 250 wikipedia berbahasa asing di dunia dan peringkat 3 di Asia setelah bahasa Jepang dan Mandarin, selain itu bahasa Indonesia menjadi bahasa ke 3 yang paling banyak digunakan dalam postingan blog di wordpress. Bahasa Jawa menduduki posisi ke-11 bahasa yang terbanyak digunakan dengan jumlah penutur sekitar 84,6 juta orang. Bahasa Sunda menduduki posisi ke-31 dengan jumlah penutur sekitar 34 juta orang. Bahasa Indonesia sendiri menduduki posisi ke-41 dengan jumlah 23,2 juta orang (menurut sensus tahun 2000). Jumlah yang terdata ini bisa menjadi perdebatan, tetapi data inilah yang tercatat dalam Ethnologue

10. Bahasa Perancis

Bahasa Perancis (le français, la langue française) adalah salah satu bahasa paling penting dari kelompok bahasa Roman setelah bahasa Spanyol dan bahasa Portugis. Bahasa Perancis merupakan bahasa yang paling banyak dituturkan ke-11 di dunia. Hingga tahun 1999, bahasa ini dituturkan oleh lebih dari 77 juta penduduk di dunia sebagai bahasa ibu dan oleh 128 juta jiwa lainnya sebagai bahasa kedua.

Bahasa Perancis juga dipakai sebagai bahasa resmi atau bahasa pemerintahan oleh beberapa komunitas dan organisasi, seperti Uni Eropa, IOC, PBB, dan FIFA.




sumber : Ethnologue: Languages of the World & Wikipedia.org.
http://nagapasha.blogspot.com

Sejarah Sepak Bola

Banyak orang menyangka sepak bola lahir di Inggris. Ternyata sepak bola yang dimaksud itu sepak bola modern, namun sebelum itu termyata sepak bola telah ditemukan sejak 3000 tahun yang lalu di berbagai pelosok dunia dalam bentuk yang berbeda-beda.

Bola pernah ditemukan bukti-buktinya sebagai permainan para prajurit China sekitar abad ke 2 - 3 zaman pemerintahan Dinasty Han. Belakangan ditemukan juga bukti keberadaan sepak bola di Kyoto, Jepang. Di Indonesia, sepak bola pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda, perkembangannya pun menjadikan sepak bola menjadi sebuah kelompok bergengsi pada saat itu.

Kelahiran sepak bola modern memang lahir dari Inggris. Keberadaannya pun digunakan sebagai olah raga "perang". Saat itu ada semacam kepentingan pelampiasan antara Inggris dan Scotland. Satu bola diperebutkan dua kampung. Permainannya pun cenderung kasar dan brutal. Gak heran kalau akhirnya banyak makan korban. Ada kisah yang menyeramkan pula. Bahwa sepak bola kuno di timur Inggris bukan menggunakan bola, melainkan kepala musuh prajurit perang lawan. Dengan cara dan pola permainan seperti itu, maka sepak bola akhirnya dilarang oleh pemerintahan Inggris.

King Edward III tahun 1331 mengeluarkan aturan untuk menghentikan permainan brutal ini. Sementara di Scotland, King James 1 pada tahun 1424 memproklamirkan kepada semua pria untuk tidak main bola - "That na man play at the Fute-ball". Begitu pun seterusnya.

Sayangnya, sepak bola sudah sangat populer hingga tidak ada yang bisa menghentikan permainan ini di masyarakat. Pada tahun 1815 sebuah kampus ternama di Inggris, Eton College mencoba membuat aturan permainan sepak bola. Aturan ini berkembang dan diterapkan di banyak perguruan tinggi, dimodifikasi hingga dikenal dengan nama Cambridge Rules tahun 1848. Namun pada perkembangannya pun aturan ini terpilah menjadi dua aturan besar, yaitu aturan Rugby School dan aturan Cambridge. Yang membedakannya saat itu adalah bola yang boleh dipegang dan dibawa berlari.

Pada tanggal 26 October 1863, sebelas klub dan sekolah London mengirimkan perwakilannya untuk sebuah pertemuan di Freemanson's Tavern untuk mengkukuhkan satu peraturan mendasar untuk aturan permainan yang akan mereka mainkan. Dari pertemuan ini lah lahir The Football Association. Kekuatan kelompok ini makin solid hingga membuat gerah penggemar Rugby. Pada tanggal 8 Desember 1863 para rugger (sebutan untuk rugby) memutuskan untuk berpisah. Kini ada Rugby School dan The Football Association.

Pada tahun 1869, para anggota The Football Association (sering disebut Asscociation) mulai mengkukuhkan larangan memegang bola saat bermain. Ini adalah awal aturan hands-ball.

Charles Wreford Brown adalah pemainrugger handal, rugger adalah sebutan rugby muncul dari istilah slang mahasiswa di Oxford yang gemar memendekkan sebutan lalu diberi imbuhan di akhir "er" - rug + er = rugger. Suatu ketika Charles ditawarkan apakan dirinya ingin bermain rugger? Namun dirinya menolak dengan menyebukan bahwa dirinya lebih suka SOCCER (slang dari kata AsSOCiation). Sejak itulah sebutan soccer mulai sering dipakai.

Tahun 1888, William McGregor - pengurus klub Aston Villa mendekati 12 klub soccer yang ada untuk melakukan tanding rutin yang kemudian diberi nama English Football League. Kedua belas klub itu adalah :

- Accrington (Old Reds)
- Aston Villa
- Blackburn Rovers
- Bolton Wanderers
- Burnley
- Derby County
- Everton
- Notts County
- Preston North End
- Stoke City
- West Bromwich Albion
- Wolverhampton Wanderers

Kick-off pertama kalinya liga ini dimulai tanggal 8 September 1888

Sejak itu, saya baru menyadari bahwa FOOTBALL adalah sebutan resmi, sementara SOCCER digunakan sebagai sebutan in-formal.

Disarikan dari berbagai sumber
http://nagapasha.blogspot.com

Sabtu, 03 Desember 2011

Lakon Wayang Dan Lakon Kita

Catatan N. Riantiarno
Menafsir kembali salah satu segmen dari lakon wayang, sudah dilakukan Teater Koma sejak 1978 (lakon Maaf.Maaf.Maaf). Dan sama seperti yang sering disebut oleh banyak dalang wayang, saya juga menyebut ‘penafsiran kembali’ itu sebagai carangan atau versi. Sumber utama lakon adalah Ramayana karya Walmiki dan epos Mahabharata karya Vyasa.
Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, Ramayana dan Mahabharata yang mulanya ditulis dalam Bahasa Sanskerta diterjemankan ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 856. Gambar adegan lakon serta para tokohnya kemudian ditatahkan di dinding-dinding candi. Di zaman Kerajaan Kediri, cerita dan bentuk wayang disesuaikan lagi dengan budaya lokal. Tercatat dalam sejarah, raja-raja Kediri sejak Mpu Sendok (928-947) hingga Gusti Jayabaya (1130-1160), sangat memperhatikan perkembangan kesenian wayang. Banyak buku tentang wayang ditulis oleh para pujangga masa itu.
Pada zaman Kerajaan Majapahit, 1293-1528, wayang mengalami penyesuaian. Bentuk tokoh-tokoh wayang digambar di atas kertas atau kain dan diberi warna. Bentuk itu disebut Wayang Beber Purwa. Pementasannya diiringi gamelan slendro. Lakon yang ditulis kembali oleh para pujangga dan berbagai carangan lahir pula. Maka, pakem lakon yang berasal dari India itu, seakan makin memperoleh pengkayaan lewat tafsir kisah dan perubahan bentuk tokoh.
Majapahit runtuh dan Kerajaan Demak berdiri. Cerita dan bentuk wayang kembali mengalami penyesuaian, Raden Patah yang bergelar Sultan Sah Alam Akbar (1478-1518) dan Wali Songo (Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunungjati) mengubah sasaran lakon wayang menjadi salah satu medium penyebaran agama.
Bentuk wayang tidak lagi menyerupai manusia, tapi miring (pipih) dengan dua tangan yang bisa digerak-gerakan. Gambar-gambar tokoh dalam Wayang Beber Purwa Majapahit, dipilah satu-satu sehingga menjadi karakter yang mandiri. Bahan utama karakter wayang terbuat dari kulit kerbau yang ditatah halus, diwarnai (hitam-putih) dan diberi pegangan (gapit) yang bisa ditancapkan ke batang pisang (debog) atau kayu yang dilubangi. Tontonan wayang sangat digemari.
Lakon yang dibawakan bersumber dari Wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Pajang, 1546-1586, bentuk wayang memiliki warna yang lebih bervariasi. Selain hitam dan putih, warna emas (prada) juga mulai dikenal. Banyak pula dalang kreatif yang melahirkan berbagai lakon carangan. Pakem lakon dari India ‘hanya’ dimanfaatkan sebagai narasumber imajinasi.
Tak bisa dipungkiri, Para Wali memang memiliki andil yang besar dalam upaya mengembangkan kesenian wayang. Sunan Giri mencipta Wayang Gedog tanpa raksasa dan kera untuk lakon Wayang Panji, 1563. Pada tahun yang sama, Sunan Bonang mencipta Wayang Beber Gedog. Dia juga menulis Serat Damarwulan dan Ratu Kenconowungu. Sunan Kalijaga mencipta topeng yang bentuknya mirip dengan karakter Wayang Purwa, 1586. Dan Sunan Kudus, 1584,mencipta wayang kayu berbentuk pipih dengan tangan terbuat dari kulit. Bentuk itu kemudian disebut Wayang Krucil atau Wayang Golek Purwa.
Pada Kerajaan Mataram Islam, pangeran Seda Krapyah (1601-1613) melakukan upaya penyesuaian lagi. Bentuk wayang memiliki dua tangan yang bisa digerakkan dengan lebih bebas karena diberi tulang bambu. Dia juga menciptakan Wayang Dagelan atau lawakan Semar, Bagong, Cengguris dan Cantrik. Konon, pada masa itulah karakter Bagong dilarang muncul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Lewat lawakannya, Bagong dianggap terlalu ‘lancang’ mengritik kebijakan pemerintah jajahan. Bagong masuk kotak, tapi para dalang yang kreatif melahirkan karakter Cengguris sebagai gantinya.
Kisah perkembangan wayang di Indonesia, sudah ditulis hingga berjilid-jilid buku. Banyak yang dilakukan para pujangga, perupa wayang dan dalang sehingga kita mengenal wayang dalam bentuknya yang sekarang. Lakon digali dan digali terus-menerus, seakan tak habis-habis. Bentuk karakter wayang disesuaikan dan disesuaikan lagi berdasarkan tuntutan zaman. Lakon wayang dan karakter wayang, menjadi harta intelektual yang amat besar nilainya. Menjadi sumber ilham yang sangat inspiratif, ajaran moral yang bermutu tinggi.
Kyai Yosodipuro, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Mangkunegoro IV, VI dan VII, adalah tokoh-tokoh yang tercatat sangat berjasa dalam upaya pengembangan kesenian wayang. Patokan lakon yang kemudian disebut pakem, berasal dari hasil kreatifitas mereka. Pakem yang, sesungguhnya, jauh berbeda dengan pakem aslinya dari India. Satu contoh, tokoh para panakawan misalnya, tak ada di dalam Ramayana dan Mahabharata.
Sebagian besar tokoh satria, juga mengalami penyesuaian dengan adat, filosofi dan perilaku bangsa Jawa.
Dalam perjalanan kreatif penulisan lakon, saya bersyukur memiliki babon atau narasumber lakon yang tak pernah habis digali. Mitologi Yunani (Iliad karya Homerus) adalah babon yang pertama. Dongeng-dongeng dari Negeri Cina, menjadi narasumber kedua. Karya-karya William Shakespreare dan Moliere (yang saya anggap sebagai lakon Wayang Inggris’ dan ‘Wayang Prancis’), adalah submer inspirasi yang ketiga. Tapi setiap kali menulis lakon, jika ilham datang dari ketiga narasumber itu, saya sering memandangnya dari sisi karakter lakon wayang. Lalu saya berupaya mengawinkan berbagai energinya sehingga menjadi sinergis.
Jika sumber ilham datang dari lakon wayang (Mahabharata atau Ramayana), saya juga berupaya menyadurnya sehingga kisah menjadi masa kini. Menjadi lakon yang dekat di sekitar kita, milik kita, masalah kita. Bahkan lakon karya Bertolt Brecht pun saya coba sadur lewat jalan pikiran wayang.
Hampir seluruh karakter manusia, plus detilnya, tersirat di dalam lakon-lakon empat babon atau narasumber itu. Intisari lakon sama. Penyesuaian yang dilakukan hanya karena zaman, keadaan, lingkungan dan asesori yang berbeda. Justru yang paling penting adalah tafsir lakon, yang biasanya, malah menjadi roh penggerak energi kreatif ke arah tujuan yang hendak diungkapkan.
Bagi saya, kesenian adalah ‘seni menafsir alam dan kehidupan’. Tujuannya hanya satu ‘berterimakasih kepada alam dan kehidupan’. Apa pun anugerah alam dan kehidupan kepada kita, buruk atau baik, tetap harus disebut sebagai anugerah. Alam dan kehidupan yang dijaga, semoga sudi memberikan anugerah yang bermanfaat. ALam dan kehidupan yang ditelantarkan, bahkan dilupakan, sudah barang tentu akan menuai ganjaran lewat bentuk hukuman yang bervariasi. Nikmat dan azab terjadi akibat perilaku manusia sendiri. Sebuah hukum sebab-akibat. Tapi kita sering lupa diri. Saya percaya, alam dan kehidupan senantiasa berjaga. Sepanjang masa.
Sesungguhnya kita adalah wayang yang digerakkan oleh ‘dalang’. Kita tak berdaya karena alur cerita bukan milik kita. Sebagai wayang, garis nasib ada di tangan ‘dalang’.
Tapi, kadang kita tinggi hati. Sering ‘kerasukan’  Kalika dan ratu setan Durga. Merasa lebih dari ‘dalang’ menganggap diri berkuasa. padahal kita hanya muncul kalau dibutuhkan. Jika tidak, kita tetap tergeletak di dalam kotak. Iklas adalah sikap bijak dalam menjalani lakon hingga ke ujungnya. Pemahaman iklas, bukan berarti menyerah lalu tak berbuat apa-apa. Iklas itu cahaya dari akal budi manusia. Karena lakon manusia sebaiknya terdiri dari rangkaian upaya-upaya kreatif tanpa sikap yang tinggi hati.
Upaya memburu ‘keseimbangan batin’, tersirat dalam lakon-lakon wayang carangan yang saya tulis. Sebagian besar lakon dipentaskan oleh Teater Koma. Maaf. Maaf. Maaf, Wanita-Wanita Parlemen, Konglomerat, Burisrawa, Suksesi, Opera Ular Putih, Kala, Semar Gugat, Republik Bagong, Presiden Burung-Burung, Opera Rama-Shinta, Opera Mahabharata, Opera Anoman dan kini Republik Togog, adalah rangkaian yang tak putus dari upaya-upaya itu. Mungkin sulit diserap dan nampak bagai menaruh setitik debu di gurun pasir luas, menuang segelas air di lautan. Sia-sia.
Tapi apa yang bisa dilakukan selain terus berupaya? Harapannya, semoga ada yang masih memiliki kepeka andalam menimbang, kesadaran dalam bertindak, dan punya akal budi. Keserakahan lahir dari kemunafikan. Dan kehancuran bersumber dari keserakahan. Kitab Zaman sudah mencatat berbagai bukti tentang itu.
Di dalam lakon wayang, Sri Kresna dan Semar menjadi tumpuan segenap harapan. Kedua tokoh itu akan muncul jika Lima Pandawa mengalami kesulitan. Sri Kresna adalah titisan Dewa Wisnu yang piawai dalam mengatur berbagai urusan kenegaraan dan penafsir handal garis nasib yang dipatok oleh para dewa. Sedangkan Semar, meski hanya seorang panakawan (pana=cerdik, kawan=sahabat yang cerdik), diakui punya kemampuan membimbing rohani Lima Pandawa. Jika keduanya tak ada, negara akan gonjang-ganjing.
Pada episode Republik Togog, kedua tokoh panutan Lima Pandawa itu menghilang. Tak heran, jika berbagai kekuatan jahat dengan mudah berhasil merasuki jiwa para satria.
Dan kalau lakon ini merupakan metafora zaman, mungkin akan timbul dua pertanyaan; ‘Apakah kita kehilangan Sri Kresna dan Semar?’ Lalu, ‘Mengapa?’ Sebab, meskipun kedua tokoh akhirnya muncul di akhir lakon, peristiwa itu tetap bagaikan sebuah mimpi di siang bolong. Pemunculan mereka seakan hanya sebuah bonus maya dalam suasana keputus-asaan. Hanya setitik harapan, sat gonjang-ganjing berlangsung terlalu lama. Di dalam kenyataan kini, sesungguhnya, di manakah Sri Kresna dan Semar? Dan apakah kita sungguh-sungguh memiliki keinginan untuk mencarinya? Wahai, Kalika dan Durga masih ‘merasuki’ jiwa. Togog Tejamantri ada di mana-mana.
Lakon wayang, adalah juga lakon tentang manusia. Kepadanya kita bisa berkaca. Tapi, masih adakah niat untuk berkaca? Sudikah kita berkaca?
Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu lama menunggu jawaban. ‘Menunggu cahaya Semar dan Sri Kresna, bagai menunggu garuda beranak singa’.
Jakarta, Juni 2004
www.suarakarya.com

Ketika Kebajikan Hilang Kekacauan pun Terjadi

Dari Pementasan “Republik Togog” Teater Koma
HUMOR adalah sebuah sketsa vibrasi keluhan dan potret sosial masyarakat (bahkan juga situasi perpolitikan nasional). Ia menjadi satire, sebuah arena kegetiran yang coba ditumpahkan ke dalam fantasi senyum. Ia menjadi medan penumpahan emphasis (tekanan) keseriusan untuk disatirkan. Tentunya, latar belakang kehadiran humor karena adanya friksi sosio-kultural dan sosio-politis yang menggumpal. Itulah sesungguhnya yang hendak disampaikan Teater Koma dalam pementasan “Republik Togog” di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), mulai 28 Juli hingga 6 Agustus mendatang.
Togog itu sebenarnya bukan siapa-siapa. Ia hanya rakyat biasa yang dipenuhi ambisi untuk menguasai Kerajaan Amarta. Anehnya, penyamaran Togog menjadi resi (ahli agama- red.) tak disadari oleh Raja Amarta, Samiaji. Sebaliknya, Samiaji–putra spiritual Batara Darma, dewa paling bijak di Khayangan–menuruti apa pun yang diperintahkan, termasuk menjadikan adik tirinya, Sadewa (salah satu dari lima pandawa), menjadi tumbal dengan alasan untuk kemakmuran negeri.
Samiaji seperti “kerbau dicocok hidung”. Pun demikian halnya dengan Dewi Kunti (ibunda Samiaji). Puncaknya, Samiaji berniat menjadikan Tejamantri sebagai putra mahkota sekaligus menjadikannya sebagai suami Roro Parwita, putri angkat Samiaji.
Sayangnya, saat gonjang-ganjing itu bermula, para penasihat spiritual pandawa, yakni Kresna dan Betara Ismaya alias Semar, tengah tak berada di Amarta. Keduanya hilang lejam, tak tentu rimbanya.
Gonjang-ganjing itu semakin parah menyusul campur tangan Betari Durga, sosok jahat yang menginginkan kecantikan untuk kemudian merayu Arjuna. Melalui pelayan setianya Kalika, Durga berhasil menghasut Samiaji agar mau menjadikan Sadewa sebagai tumbal.
Alasannya setali tiga uang dengan yang diumbar Togog, demi kemakmuran negeri Amarta. Padahal, sesungguhnya, tumbal itu semata-mata dilakukan sebagai syarat agar Betari Durga mendapatkan kembali kecantikannya.
Sebenarnya, kejanggalan demi kejanggalan itu sudah dirasakan oleh sejumlah penghuni istana, seperti Limbuk (pelayan Drupadi), Drupada (ayah Drupadi sekaligus mertua Samiaji), dan Raden Gatutkaca. Sekali lagi, Samiaji memang sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya. (Sepertinya ia memang seorang raja yang tak pernah belajar dari kesalahan masa lalu, khususnya saat diliciki Sakuni dalam permainan dadu yang memalukan). Ia seolah menutup kuping terhadap semua nasihat dari para bijak di istana. Dalam hitungan hari, Tejamantri dan Betari berhasil menguasai kerajaan.
Alhasil, berita gonjang-ganjing itu sampai juga ke Kelurahan Karang Tumaritis, tempat di mana para panakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, bermukim. Kepedulian kepada nasib bangsa akhirnya membawa para panakawan itu mengunjungi Kerajaan Amarta. Meski rakyat biasa, “titah” Semar punya tuah. Apalagi, kala itu, Semar turut dibantu Sri Kresna yang sekaligus penasihat spiritual Pandawa Lima. Samiaji dan Dewi Kunti pun berhasil kembali disadarkan.
Penyamaran Togog bisa dibongkar. Dan, Roro Parwita dikembalikan kepada kekasihnya, Raden Ariadewa — putera mahkota Kerajaan Girikencana.
**
SEPERTI biasa, Nano mengemas lakon itu dengan humor. Ya, sebuah humor yang matang. Tidak hanya joke-joke ringan, kelugasan wajah, dan gerakan verbalistik yang memancing tawa. Alhasil, humor yang disajikan Teater Koma, tadi malam, mampu meregum piranti kecerdasan sekaligus kejeniusan seorang Nano Riantiarno, sang sutradara. Ia demikian piawai mengakumulasikan energi psikis yang memang diharapkan khalayak penonton.
Dalam produksi teaternya yang ke-103 itu, Nano menyajikan sebuah “penafsiran kembali” lakon wayang yang disebutnya sebagai carangan, versi, atau sempalan. Buktinya, Nano berhasil mengubah sosok Betari Durga yang ganas sekaligus kejam menjadi sosok gemulai yang kebanci-bancian. Ia berhasil mengubah Gatutkaca yang ksatria santun dan hemat bicara menjadi sosok yang berkepribadian Batak. Ia pun “mengacak-acak” sosok para panakawan menjadi orang Tegal, Jawa, Betawi, dan Sunda.
Sayangnya, lakon itu terasa terlalu panjang. Adegan verbal (dan juga serius) para penghuni istana dirasa amat menjemukan. Meskipun, sebenarnya tak ada yang salah jika dilihat dari faktor penguasaan panggung Cornelia Agatha (Roro Parwita), Ratna Riantiarno (Dewi Kunti), Sriyatun Arifin (Drupadi), Salim Bungsu (Kresna), maupun puluhan pemain lainnya. Untungnya, Nano berhasil menyulap lakon panjang itu menjadi “berwarna” menyusul kehadiran sosok jenaka dalam diri Limbuk (Tuti Hartati), Gatutkaca (Vincentius Ramco Sinaga), maupun para panakawan. Meski tak sering, pengunjung tampak selalu menunggu kehadiran gerak-gerik dan ucapan konyol mereka.
Tema tunggal yang hendak disampaikan Teater Koma lewat “Republik Togog” itu adalah sesungguhnya manusia tak lebih dari wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia tak berdaya karena memang alur cerita bukan milik manusia. Sebagai wayang, tentu garis nasib berada di tangan dalang. Akan tetapi, terkadang manusia tinggi hati dan sering “kerasukan”. Merasa lebih dari dalang, manusia menganggap diri berkuasa.
Pada episode “Republik Togog”, kedua tokoh panutan Lima Pendawa itu menghilang. Tak heran, jika berbagai kekuatan jiwa para satria jadi melemah. Jika lakon tersebut hendak dijadikan metafora zaman, mungkin akan timbul dua pertanyaan “apakah sesungguhnya Indonesia kehilangan Semar dan Kresna?” lalu “mengapa?” Soalnya, meskipun kemudian kedua tokoh itu hadir (dan menyelesaikan masalah di Amarta), peristiwa itu tetap bagaikan sebuah mimpi. Pemunculan kedua tokoh itu hanya sebuah “bonus maya” dalam suasana keputusasaan.
Hanya setitik harapan, saat gonjang-ganjing berlangsung terlalu lama. Togog itu ada di mana-mana. Dia mungkin masih menyelusup, menyihir, sekaligus memprovokasi. Ia menjelma sebagai politisi. Ia menjelma dalam sosok pejabat. Bahkan, ia menjelma menjadi ulama. Tak heran, jika kemudian kekacauan itu selalu ada. (Hazmirullah/”PR”)***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/29/0104.htm
29 Juli 2004

Goro-goro

IMPLEMENTASI PESAN MORAL DAN BUDAYA UNTUK ANAK USIA DINI MELALUI PRODUK KREATIF PENTAS WAYANG PURWA

A. Pendahuluan
Makalah ini merupakan perasan dari penelitian Hibah Kompetensi yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat perjanjian Pelakanaan Hibah Kompetisi Nomor: 221/SP2H/PP/DP2M/V/2008, tanggal 30 Mei 2009, yang penulis lakukan di wilayah Solo Raya; khususnya mengenai produk kreatif pentas wayang untuk anak usia sekolah SD dan SMP. Di dalam kerangka mewujudkan semboyan Solo spirit of Java, event-event budaya dan kegiatan produktif kreatif yang mengandung nilai-nilai keunikan itu perlu dipadukan sebagai bagian yang utuh dari pencitraan (branding) Solo Raya. Keragaman budaya lokal di Solo Raya layak mendapat perhatian untuk dikembangkan agar menghasilkan karya yang inovatif sehingga dapat mencerminkan keunggulan bangsa sekaligus berdampak pada pengokohan budaya lokal.
Pertunjukan wayang, terutama wayang kulit purwa, merupakan salah satu karya budaya Bangsa Indonesia khususnya nenek moyang orang Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan, baik religi, filsafat, pendidikan (budi pekerti), dan sebagainya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila UNESCO memproklamirkan, bahwa wayang merupakan salah satu karya agung warisan budaya dunia non-benda (a masterpiece of oral and intangible heritage of humanity) yang perlu dilestarikan.
Pengertian non-benda dalam konteks ini adalah hal-hal yang tidak dapat diraba, yaitu tentang kandungan nilai dalam seni wayang yang luar biasa dan dihargai oleh dunia itu. Ini bukanlah semata-mata sanjungan belaka untuk membanggakan diri. Akan tetapi, itu merupakan cambuk bagi bangsa Indonesia untuk introspeksi dan melihat ke depan apa yang harus diperbuat, agar nilai-nilai yang terkandung dalam seni wayang itu menjadi lebih berarti bagi kehidupan manusia.
Ditinjau dari aspek pertunjukannya, wayang Jawa terdiri dari beberapa macam; di antaranya adalah Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Madya, dan Wayang Wasana. Wayang purwa pada umumnya menggelarkan lakon yang bersumber pada siklus ceritera Ramayana dan Mahabharata; Wayang Gedhog bersumber pada siklus ceritera Panji; Wayang Madya besumber pada siklus ceritera Madya, yaitu ceritera mengenai tokoh-tokoh keturunan Pandawa setelah raja Parikesit pada akhir zaman kerajaan Hastina. Wayang Wasana adalah pertunjukan wayang yang mengambil ceritera dari kisah-kisah kerakyatan dan sejarah; pertunjukannya berupa wayang suluh, wayang kancil, wayang Pancasila, wayang perjuangan, dan sebaginya. Adapun yang dimaksud wayang dalam penelitian ini adalah pertunjukan wayang kulit yang juga lazim disebut Wayang Purwa.
B. Pesan Moral dan Budaya dalam Wayang
Sebagaimana dinyatakan oleh Susilo (2000: 74) bahwa, wayang secara tradisional adalah intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang merupakan warisan turun-tumurun, dan secara konvensional telah diakui bahwa ceritera dan karakter tokoh-tokoh wayang itu merupakan cerminan inti dan tujuan hidup manusia. Penggambarannya sedemikian halus, penuh dengan simbol-simbol (pralambang dan pasemon) sehingga tidak setiap orang dapat menangkap pesan atau nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kehalusan wayang merupakan kehalusan yang sarat dengan misteri. Hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan batin tertentu saja yang mampu menangkap inti sari dari pertunjukan wayang.
Wayang pada hakikatnya adalah simbol dari kehidupan manusia yang bersifat kerokhanian. Sebagai kesenian klasik tradisional, wayang mengandung suatu ajaran yang bersinggungan dengan hakikat manusia secara mendasar. Di antaranya ialah ajaran moral yang mencakup moral pribadi, moral sosial, dan moral raligius (Nugroho, 2005: 11). Pertunjukan wayang menggelarkan secara luas mengenai hakikat kehidupan manusia dan segala di sekitarnya serta rahasia hidup beserta kehidupan manusia. Melalui pertunjukan wayang manusia diseyogyakan merenungkan hidup dan kehidupan ini utamanya mengenai kehidupan pribadi yang berhubungan dengan sangkan paraning dumadi dan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi kehidupan di dunia yang tidak lama ini.
Anderson (1996) berpendapat bahwa, wayang sebagaimana “sistem” etika dan metafisika yang lain, mempunyai pretensi untuk membeberkan pengertian tentang alam semesta.
Kendatipun sebagian ceritera berdasarkan epos Ramayana dan Mahabharata dari India, tetapi mitologi wayang Jawa merupakan upaya dalam kerangka menyelidiki posisi eksistensial orang Jawa secara puitis, korelasinya dengan tatanan alam kodrati dan adikodrati, dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri. Sebagaimana diutarakan oleh Rajagopalachari (dalam Murtanto, 2009: 9) bahwa mitologi merupakan bagian integral dari “agama”. Mitologi adalah bagian mendasar bagi suatu agama dan kebudayaan nasioal, sebagai kulit dan kerangka yang melestarikan sari dan cita rasa susatu agama dan bangsa. Pengertian bentuk sama mendasarnya dengan isi. Orang tidak dapat memeras agama dan menyarikan isinya dalam dirinya sendiri. Jika itu terjadi, maka agama tidak akan berguna dan tidak akan bertahan lama. Setiap kebudayaan besar membutuhkan mitologi dan tokoh-tokoh suci sebagai fondasi spiritual yang stabil, serta sebagai inspirasi dan pembimbing guna memberi pencerahan bagi kehidupan.
Bagi orang-orang di zaman moderen yang beranggapan dirinya sebagai manusia serba ilmiah dan serba rasional, tentu saja memandang wayang sebagai suatu yang tidak rasional dan tidak masuk akal, karena wayang hanyalah dongeng, khayalan dan mitos belaka. Memang mitos dalam dunia pewayangan merupakan simbol-simbol yang mampu memukau dan membangunkan daya irrasional, serta menggetarkan jiwa manusia. Jika diamati secara cermat dan dihayati dengan sungguh-sungguh, pertunjukan wayang mengandung kajian filsafati sekaligus mistik. Istilah mistik dalam hal ini tidak identik dengan klenik dan takhayul sebagaimana kebanyakan orang memberi pengertian. Akan tetapi mistik yang berasal dari kata Yunani mistikos, yang berarti “misteri” atau “rahasia”. Jadi yang dimaksud mistik dalam hal ini adalah hal-hal rahasia yang berkait dengan keyakinan, bahwa dalam kehidupan ini manusia dapat mengalami kesatuan transendental dengan yang Maha Kuasa, dengan melalui meditasi (Susilo, 2000: 74-75).
Pendapat Sarsita yang dikutib oleh Sena Sastra Amidjaja. (1964) menyatakan bahwa, setiap pertunjukan wayang kulit pada dasarnya merupakan lambang perjuangan batin, dalam berkompetisi, antara prinsip baik dan prinsip buruk di dalam kehidupan manusia pada umumnya, atau dengan istilah lain antara mistik dan magi. Pertujukan wayang kulit terdiri dari berbagai adegan yang saling berhubungan erat antara satu dengan lainnya. Masing-masing adegan melambangkan fase tertentu dari kehidupan manusia, dan keberadaan fase-fase itu bersifat abadi. Akan tetapi dengan sengaja ataupun tidak hal itu selalu diselubungi dengan kabut mistik, agama, buah fantasi penciptanya, yang kemungkinan sangat tebal keberadaannya. Apabila dianalisis secara seksama perbandingan itu akan nampak nyata. Oleh karena itu hampir senantiasa kembali dapat ditemukan unsur-unsur secara terurai yang membentuk susunan ketasawufan sepanjang waktu itu.
Penulis pada dasarnya setuju dengan pendapat-pendapat tersebut di depan, akan tetapi ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan makna pertunjukan wayang. Sebagai seni pertunjukan, wayang tidak dapat lepas dari hakikat pertunjukan itu sendiri, di antaranya selain mengandung aspek filsafati yang berupa nilai-nlai ajaran hidup, juga terdapat kesan-kesan hiburan semata. Hal ini lazim disebut oleh masyarakat Jawa bahwa, wayang selain sebagai tontonan juga menjadi tuntunan. Sejauh mana orang memberikan makna terhadap pertunjukan wayang itu sesungguhnya bergantung pada pemahaman dan kepentingan tiap-tiap individu terhadap wayang itu.
Keindahan dalam seni pertunjukan wayang meliputi seluruh kandungan nilai yang tersirat di dalamnya. Maka pengertian indah dalam pertunjukan wayang mempunyai lingkup pengertian sangat luas. Indah tidak berarti hanya tampilan tokoh wayang yang bagus, halus, rumit, berwarna-warni; atau suara gamelan yang mengalun disertai nyanyian swarawati yang merdu saja, tetapi hal yang lebih penting dari pada itu adalah pesan-pesan yang disampaikan oleh dalang dalam bentuk sajian secara utuh, baik ungkapan tentang kebenaran, kejahatan, kegembiraan, maupun kesusahan, yang mampu menyentuh hati para penonton atau penggemarnya. Itulah yang dimaksud keindahan dalam seni pertunjukan.
Sebagaimana konsep estetika pedalangan menurut Najawirangka (1960: 1: 57) seorang guru dalang di keraton Surakarta pada masa itu, bahwa keindahan dalam seni pertunjukan wayang itu ditentukan oleh penguasaan pengetahuan (kawruh) yang dikemas dalam sepuluh istilah sebagai berikut: (1) Regu, artinya pada waktu sore tampak berwiba; (2) Greget, artinya pada saat suasana marah berkesan sunguh-sungguh; (3) Sem, maksudnya romantis; (4) Nges, pada adegan sedih dapat menyentuh hati penonton; (5) Renggep, artinya selalu semangat; (6) Antawacana, artinya wacana dalang sesuai dengan suasana atau karakter wayang yang ditampilkan; (7) Cucut, artinya lucu atau jenaka, mampu membuat penonton tertawa segar; (8) Unggah-ungguh, artinya dalang menguasai kaidah-kaidah tata krama pakeliran misalnya: penerapan tata bahasa, silsilah, tanceban wayang, dan sebagainya; (9) Tutuk, artinya dalang memiliki artikulasi wacana jelas; (10) Trampil, artinya trampil dalam memainkan wayang, menggubah ceritera, menyingkat, mengulur, menguasai berbagai unsur garap pakeliran, dan pengethuan lain-lain yang berhubungan dengan keperluan mendalang.
Sebagaimana telah dinyatakan oleh UNESCO (2004), bahwa wayang merupakan salah satu karya agung warisan budaya dunia non benda, secara sosiokultural telah melekat dalam keyakinan masyarakatnya. Jenis wayang yang berkembang di daerah Surakarta cukup beragam, akan tetapi pengembangan bentuk kekaryaan pentas yang secara khusus dikemas untuk pembelajaran anak-anak usia sekolah dasar dan menengah belum ada data konkret yang tertata. Meskipun sering diselenggarakan festival dalang anak-anak sewilayah Solo Raya, sebagaimana yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Surakarta (TBS), akan tetapi belum tersedia bentuk naskah pedalangan yang memang dikemas untuk keperluan pentas anak-anak sekolah. Demikian pula boneka wayang yang disediakan oleh pengrajin wayang, hingga sekarang belum ada pengrajin yang membuat wayang yang khusus untuk keperluan pentas khusus bagi anak-anak seusia sekolah, kekaryaan mereka pada umumnya masih tidak beranjak dari konvensi yang ada dan bergantung pada pesanan para pelanggannya saja belum ada pemberdayaan secara optimal.
Oleh karena itu para pengrajin yang berpotensi itu tidak pernah menghadapi tantangan untuk mengembangkan kreatifitasnya. Demikian pula seniman dalang sebagai pelaku pertunjukan wayang kulit, secara kuantitas cukup banyak dan berpotensi, tetapi belum diberdayakan secara optimal dalam kerangka pengembangan karya wisata seni dan peningkatan ekonomi kreatif. Berpijak dari fenomena itu, potensi budaya tradisi wayang, baik dalam bentuk tradisi maupun non tradisi perlu dikembangkan sebagai model pengembangan industri kreatif dalam bentuk seni pentas wayang berbasis anak sekolah. Hal ini penting dilakukan dalam rangka menghadapi tantangan ekonomi kreatif serta menjaga kekokohan budaya lokal khususnya keberlangsungan seni pentas wayang kulit.
Kemajuan peradapan masyarakat yang berpacu dengan perkembangan budaya tehnologi dan tuntutan ekonomi kreatif, perlu disikapi secara dini dengan mengelola perkembangan usia anak di masa-masa awal pertumbuhan intelegensinya. Derasnya pengaruh budaya global tidak perlu lagi menjadi alasan tergesernya kebudayaan lokal, karena sumua itu bergantung pada usaha dan kemampuan kita untuk mengelola. Perhatian dari berbagai pihak menjadi sangat penting dalam hal ini, terutama pihak-pihak yang berkompeten dalam pemerintahan. Semua ragam dan jenis seni budaya yang ada di negeri ini adalah milik bangsa Indonesia, sudah barang tentu kita yang harus memperhatikan, mencintai dan memeliharanya. Moto ataupun semboyan tentang pelestarian budaya tidaklah cukup diucapkan oleh para pejabat tinggi ketika memberi sambutan dalam suatu kongres budaya ataupun para seniman ketika berdemonstrasi, yang lebih penting perlu adanya langkah-langkah riel yang harus dilakukan.
Anak adalah calon generasi penerus yang merupakan aset utama dalam pelestarian dan pengembangan budaya bangsa ini. Daya pikir anak ibarat kertas putih yang belum ada tulisannya, kelak anak-anak kita akan menjadi apa saja sesungguhnya salah satu aspek yang menentukan adalah cara kita mendidik sejak awal. Anak-anak usia sekolah SD/SMP adalah usia dini yang kemungkinan besar relatif mudah dididik dan diarahkan kepada suatu objek yang dipandang menarik. Anak-anak seusia ini belum banyak mengenal apa yang ada di sekitarnya. Mereka akan mudah tertarik pada sesuatu yang dirasa lebih dekat dengan dunia mereka, baik bentuk, karakter maupun nilai yang dikandung oleh suatu objek tertentu.
Wayang kulit purwa merupakan produk kreatifitas seni yang mengandung nilai estetika dan etika sangat tinggi, pada umumnya pertunjukan wayang bukan untuk konsumsi dunia anak melainkan untuk orang dewasa. Akan tetapi wayang purwa juga mengandung nilai-nilai yang dipandang penting untuk membangun pertumbuhan kepribadian anak, karena di dalam pewayangan itu banyak simbol-simbol ketauladanan yang mencerminkan nilai-nilai yang maslahat bagi kehidupan. Nilai-nilai inilah yang perlu dilestarikan dan dikenalkan sejak dini kepada anak-anak kita, dalam rangka membentuk kepribadinnya sebagai bangsa timur. Yang perlu menjadi pemikiran adalah bagaimana anak-anak kita mencintai seni pertunjukan wayang dan menyadari spenuh hati betapa pentingnya nilai-nilai dalam dunia pewayangan itu, serta mau menjadi pelaku tanpa ada paksaan dan pemerkosaan hak anak. Akhir-akhir ini banyak bermunculan dalang-dalang cilik yang dilombakan dengan menyajikan lakon-lakon yang tidak proporsional bagi dunia mereka, misalnya anak seusia sekolah SD menyajikan pakeliran padat lakon Ciptaning, Kangsa Lena, Anoman Duta, dan sebagainya, pada hal naskah-naskah itu garapan mahasiswa S1. Dengan demikian sangat jelas bahwa gagasan yang diungkapkan dalam karya-karya itu bukanlah produk yang berbasis anak.
C. Perlunya Model Kemasan Pertunjukan Wayang Berbasis Anak
Mengacu pada fenomena masyarakat dewasa ini, dipandang perlu adanya suatu model kemasan pertunjukan wayang berbasis anak yang juga akan menarik bagi dunia wisata anak. Kemasan itu akan memuat aspek-aspek garab yang mencakup: bentuk boneka wayang, cerita, dan bentuk pertunjukannya, yang khusus dikemas untuk keperluan pementasan seni wayang untuk anak-anak usia sekolah SD dan/atau SMP; dengan tidak merubah ataupun menghilangkan ciri khas wujud dan karakter wayang tradisional. Hal ini menjadi pertimbangan penting, karena seni wayang secara visual memiliki konvensi budaya yang sangat kuat di mata masyarakat (Jawa khususnya). Oleh karena itu pengenalan wayang bagi anak-anak merupakan pengantar mendasar untuk memahami tokoh-tokoh wayang secara dini, sehingga anak-anak itu semakin dewasa pemahaman terhadap tokoh-tokoh wayang itu semakin mendarah daging.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan mengembangkan seni pertunjukan wayang kulit melalui pemberdayaan seniman dalang dan kriyawan wayang, serta anak-anak di sekolah dasar dan menengah, dalam kerangka pengokohan budaya wayang kulit, dan pembangunan kepribadian generasi penerus, serta peningkatan industri kreatif di wilayah Solo Raya. Untuk mencapai terget tersebut perlu kegiatan dalam waktu tiga tahun dibagi dalam 3 tahap yakni.
Pada tahap I kegiatan diarahkan pada identifikasi bentuk pertunjukan wayang kulit di wilayah Solo Raya. Kajian dilakukan dengan pendekatan eksploratif, wayang yang ada di wilayah Solo Raya sebagai objek penelitian akan diidentifikasi gaya maupun bentuk penyajiannya. Keunikan visual atau gaya wayang pada dasarnya juga terwujud karena efek dari bahan, bentuk, dan konstruksi, serta naskah lakonnya. Berdasarkan konsep tersebut maka wayang perlu dibahas untuk dirumuskan karakteristiknya.
Secara struktur wayang diidentifikasi selanjutnya akan dianalisis untuk ditemukan karakteristik yang dapat dikembangkan sebagai sumber ide pengembangan bentuk sajian berbasis anak, baik dari sisi seni rupa maupun dari seni pertunjukannya dalam upaya mendukung penanaman pesan moral pendidikan moral anak-anak usia sekolah khususnya di wilayah Solo Raya. Untuk mendukung rumusan model tersebut kajian diarahkan pula pada pendalaman pribadi anak secara biologis yang akan ditemukan karakteristik anak terkait dengan selera dan keinginan anak pada dunia hiburan dan seni. Anak merupakan calon pengguna maupun sebagai calon pelaku. Memahami informasi pengguna maupun pelaku seni penting dilakukan, dalam rangka memahami perilaku pengguna maupun pelaku seni.
Pendekatan fenomenologi memandang perilaku manusia, apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan adalah sebagai suatu produk dari bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka sendiri (Feldman, 1967). Dengan demikian pada penelitian ini pendekatan fenomenologis dipinjam untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya untuk menemukan karakteristik gaya hidup secara umum. Meminjam teori kepribadian dalam ilmu psikhologi yang menyatakan, bahwa untuk memahami kepribadian berarti mengenal manusia dihubungkan dengan situasi lingkungannya yang merupakan pengalaman konkrit, dari aspek yang umum sebagai manusia dan ciri-cirinya yang khas dan unik. Model yang baik adalah model atau desain yang dapat menjawab esteem needs, social needs, security needs, dan physiological needs, maka desain harus memperhatikan faktor biologi manusia. Hasil temuan tentang karakteristik anak akan menjadi informasi penting untuk perumusan media dan naskah pentas wayang kulit berbasis anak.
Kegiatan tahap II, diarahkan pada uji coba hasil rumusan model pentas wayang kulit berbasis anak. Uji coba dalam perwujudan media wayang, naskah, dan pementasan di beberapa pelaku seni pertunjukan wayang dan pengrajin benda kria atau desainer. Dengan strategi pemahaman teoritis dan drill pengrajin dilatih untuk membuat wayang kulit untuk anak; anak diajak dan dilatih menjadi dalang dan diajak mengikuti festival pentas wayang kulit purwa di Solo Raya; Mengingat kegiatan ini lebih ditekankan pada kegiatan uji coba model maka hasil kegiatan akan dianalisis untuk dievaluasi. Hasilnya akan dilakukan penyempurnaan desain dan utamanya pada strategi-strategi yang penting dipahami oleh pelaku seni wayang dan dapat diterima masyarakat. Penyempurnaan ini akan dikemas dalam sebuah buku panduan pengembangan wayang berbasis anak yang di dalamnya memuat strategi model pengembangan, contoh bentuk media, dan contoh naskah.
Tahap III, adalah tahap penghiliran hasil secara umum kepada masyarakat. Hasil temuan akan disosialisasikan melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan di masyarakat secara luas, khususnya di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah serta Sanggar seni. Melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan diharapkan minat anak terhadap seni wayang kulit berbasis anak semakin meningkat, tanpa disadari memberikan dampak pada perilaku anak karena pesan moral yang terkandung dalam wayang kulit berbasis anak. Pihak sekolah atau Dinas Pendidikan dapat menangkap posistif hasil tersebut selanjutnya dapat mempertimbangkan dalam penyusunan kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah.
D. Lakon Pakeliran Dalang Bocah yang pernah disajikan
Berikut ini adalah sejumlah repertoar lakon pakeliran yang disajikan oleh 41 dalang cilik peserta Temu Dalang Cilik Nusantara III 2009 di Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta pada tanggal 15–20 Juli 2009.
1. Pethilan adegan gara-gara dan perang samberan Gathutkaca (tanpa lakon), oleh GRM. Suryo Aryo Mustiko (Kota Surakarta).
2. Lakon “Nggeguru (Déwaruci),” oleh Rakha Alfirdaus Hikmatyar (Kabupaten Sukoharjo).
3. Lakon “Gathutkaca Jèdhi,” oleh Cendekia Ishmatuka Srihascaryasmoro (Kota Surakarta).
4. Lakon “Kangsa Léna,” oleh Pandu Condro Wicaksono (Kabupaten Grobogan).
5. Lakon “Babad Wanamarta,” oleh Pulung Wicaksana Nugraha (Kabupaten Klaten).
6. Lakon “Déwaruci,” oleh Hanang Sinardoyo (Kabupaten Klaten).
7. Pethilan adegan paséban jawi sampai dengan budhalan (tanpa lakon), oleh Pandam Aji Anggoro Putro (Kabupaten Wonogiri).
8. Lakon “Brajadenta mBaléla,” oleh Bian Diva Nurisa (Kota Surakarta).
9. Lakon “Adon-adon Rajamala,” oleh Canggih Tri Atmojo Krisno (Kabupaten Karanganyar).
10. Lakon “Wirathaparwa,” oleh Magistra Yoga Utama (Kabupaten Karanganyar).
11. Lakon “Si Jabang Tetuka,” oleh Wisnu Septiawan (Kabupaten Wonogiri).
12. Lakon “Anoman Duta,” oleh Arko Kilat Kusumaningrat (Kota Surakarta).
13. Lakon “Guwarsa–Guwarsi,” oleh Rizky Fauzyah (Kota Surakarta).
14. Lakon “Déwaruci,” oleh Guntur Gagat Tri Putranto (Kabupaten Sragen).
15. Lakon “Gathutkaca Lair,” oleh Gadhing Panjalu Wijanarko Putro (Kabupaten Sragen).
16. Lakon “Déwaruci,” oleh Bagas Priambodo (Kabupaten Pati).
17. Lakon “Babad Wanamarta,” oleh Wisnu Prilaksono (Kabupaten Pati).
18. Lakon “Kresna Duta,” oleh Adam Gifari (Kabupaten Boyolali).
19. Lakon “Palguna–Palgunadi,” oleh Pandu Gandang Sasongko (Kabupaten Sragen).
20. Lakon “Bima Bothok,” oleh Bayu Praba Prasapa Aji (Kabupaten Sleman).
21. Pethilan adegan gara-gara dan perang samberan Gathutkaca (tanpa lakon), oleh Rafael Wicaksono Hadi (Kota Surakarta).
22. Pethilan perang gagal (tanpa lakon), oleh Fakih Trisera Filardi (Kota Bekasi Barat).
23. Lakon “Banjaran Sari,” oleh Danan Wisnu Pratama (Kota Jakarta Selatan).
24. Lakon “Bima Ngaji (Déwaruci),” oleh Amar Pradhopo Zedha Beviantyo (Kabupaten Sukoharjo).
25. Lakon “Ontran-ontran Mandura,” oleh Yusstanza Razali (Kota Jakarta Selatan).
26. Lakon “Déwa Amral,” oleh Dwi Adi Nugroho (Kota Jakarta Selatan).
27. Lakon “Gandamana Tundhung,” oleh Bimo Sinung Widagdo (Kota Jakarta Barat).
28. Lakon “Bambang Sukskadi (Dadiné Pétruk Garèng),” oleh Galih Wahyu Sejati (Kabupaten Wonosobo).
29. Lakon “Wasi Jaladara,” oleh Dyo Maulana Akhirwan (Kota Jakarta).
30. Lakon “Wirathaparwa,” oleh Pramel Bagaskoro (Kota Jakarta Selatan).
31. Lakon “Babad Wisamarta,” oleh Anggit Laras Prabowo (Kabupaten Karanganyar).
32. Lakon “Rama Tambak,” oleh Anindita Nur Bagaskara (Kabupaten Wonosobo).
33. Lakon “Déwaruci,” oleh Handika Krisna Majid (Kabupaten Wonosobo).
34. Lakon “Ampak-ampak Astina (Gandamana Tundhung),” oleh Mahendra Wisnu Pradana (Kabupaten Wonosobo).
35. Pethilan perang gagal (tanpa lakon), oleh Abimanyu (Kota Bekasi Utara).
36. Pethilan adegan paséban jawi sampai dengan budhalan (tanpa lakon), oleh Sulthan Dzaky Trisnaji (Kabupaten Cilacap).
37. Lakon “Anoman Kridha,” oleh Ali Yudhistira (Kota Bekasi).
38. Lakon “Arimbaka Léna,” oleh Bima Aris Purwandaka (Kabupaten Bantul).
39. Lakon “Rama Tambak,” oleh Sihhono Wisnu Purwolaksito (Kabupaten Mojokerto).
40. Lakon “Aji Narantaka,” oleh Sindhunata Gesit Widiharto (Kota Semarang).
41. Lakon “Caru Mangan Caru,” oleh I Wayan Dian Anindya Bhaswara (Kabupaten Gianyar).
Dari 41 dalang cilik tersebut, hanya 6 anak yang menyajikan fragmen (pethilan) tanpa terbingkai oleh lakon tertentu; sedangkan 35 anak menyajikan repertoar lakon wayang kulit purwa yang menurut pengamatan peneliti bukan garapan standar untuk dunia anak. Lakon-lakon tersebut merupakan garap padat yang dikemas untuk ukuran dalang dewasa dan yang telah terampil, sehingga kesan-kesan yang memberikan pengalaman wisata budaya bagi anak tidak tercermin dalam pertunjukan tersebut.
E. Konsep Garap Wayang berbasis Anak Usia SD/SMP.
1. Bentuk pertunjukan wayang untuk anak usia sekolah SD/SMP ini masih mengacu pada nilai-nilai tradisi yang ada, serta ditekankan pada nilai-nilai rokhani yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Khusus untuk anak perlu ada penekanan nilai yang mendasar untuk pendewasaan anak yang diharapkan masih berakar pada budayanya. Diharapkan pada pengungkapnan nilai tersebut, berisi tentang budi pekerti dan kaedah-kaedah budaya jawa yang disesuaikan dengan tingkatan pendewasaan anak mengenai kepekaan rasanya. Hal ini dikandung maksud mengenalkan kembali tentang etika dan estetika Jawa.
2. Untuk mengungkapkan nilai-nilai tersebut, perlu dicari garapan-garapan unsur yang ada seperti, Lakon, sabet, karawitan, bahasa dan boneka wayang serta perlengkapan lain pendukunnya. Misalnya :
a. Garapan lakon. Berhubung cerita Mahabarata dan Ramayana masih sangat dikenal dan kadang masih menjadi pandangan hidup kelompok tertentu, masih relevan kita gunakan. Hanya pada bagian-bagian tertentu perlu adanya sanggit-sanggit baru yang lebih berhasil.
b. Garapan bahasa, diharapkan yang komunikatif. Hal ini dapat ditempuh dengan explorasi perbendaharaan, baik bahasa jawa maupun bahasa Indonesia, dengan mempertimbangkan bahasa yang sederhana dan puitis serta mudah ditangkap dan dimengerti secara sentuhan rasa. Pada garapan ini diusahakan penggunaan bahasa yang singkat dan padat, yang penting nilai yang terkandung tepat sasaran.
c. Garapan Sabet atau gerak wayang. Pada garapan ini selain masih bisa menggunakan repertoar yang ada juga perlu penjelajahan gerak-gerak baru, baik secara ujut langsung maupun bayangan dengan dibantu pencahayaan yang mewadahi.
d. Garapan Karawitan.
Karawitan dalam pertunjukan wayang tidak sekedar mendukung suasana adegan atau tokoh, tetapi dapat mengantarkan bahkan dapat mewujutkan karakter kedalam suasana adegan tertentu. Kadang-kadang unsur lain seperti sabet tidak akan jelas maknanya tanpa dukungan iringan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat ditempuh sebagai berikut :
1). Menggunakan repertoar gending-gending tradisi dengan berbagai waton yang ada. Pada bagian ini ditekankan menggunakan repertoar gendhing untuk anak yang relevan.
2). Menggunakan repertoar gending dari berbagai gaya yang diminati. Seperti gaya yogyakarta, Surakarta, Banyumasan dan gaya yang lain. ( termasuk gending untuk tari dan atau jenis pertunjukan lain).
3). Menggunakan repertoar gending didasarkan pada konsep
iringan pakeliran padat.
4) Membuat gending baru. Untuk membuat gending baru, pencipta dapat membuat dengan pola bentuk gending yang sudah ada, seperti bentuk gending kethuk loro kerep, ketawang gending, ladrang, ketawang, lancaran, Sampak dan Srepeg. Dan membuat bentuk baru, seperti Gantungan, tandingan, palaran Jenggleng, dan lain sebagainya.
e. Garapan Boneka wayang. Perlu dibuat wayang baru, walaupun ornamennya masih berlandaskan pada wayang tradisi. Pada bagian ini ada dua penjelajahan, yakni :
1) Membuat wayang baru supaya dapat menghasilkan gerak
wayang yang beragam, baik secara keseluruhan maupun secara
anatomi (tidak meningalkan spesifikasi wayang tradisi yang
ada).
2). Membuat wayang ditekankan pada warna yang sesuai dengan
selera anak serta tembus bayang, serta membuat wayang ornament dan tatahannya untuk kebutuhan langsung dan bayangannya menarik bagi anak.
f. Unsur yang lain seperti Panggung wayang yang berisi Layar, lampu, hiasan tanaman dan penataan gamelan, perlu dicari format baru yang praktis dan efektif.
F. Prioritas Pengembangan Garap Pakeliran untuk Anak
Menurut teori fungsi pengamatan yang dipaparkan oleh Meumann, Stern, dan Oswald Kroh, dalam perkembangan jiwani anak, pengamatan menduduki tempat yang sangat penting. Meumann membedakan 3 fase perkembangan fungsi pengamatan, yaitu :
a) Fase sintese fartastis. Semua pengamatan atau penghayatan anak memberikan kesan – total. Hanya beberapa onderdil atau bagian saja yang bisa ditangkap jelas oleh anak. Selanjutnya, anak akan melengkapi tanggapan tersebut dengan fantasinya. Periode ini berlangsung pada usia 7-8 tahun.
b) Fase analisa, 8-9 tahun. Ciri-ciri dari macam-macam benda mulai diperhatikan oleh anak. Bagian atau onderdilnya mulai ditangkap, namun belum dikaitkan dalam kerangka keseluruhan atau totalitasnya. Sekarang fantasi anak mulai berkurang, dan diganti dengan pemikiran yang lebih rasional.
c) Fase Sintese logis kurang lebih 12 tahun keatas. Anak mulai memahami benda-benda dan peristiwa. Tumbuh wawasan akal budinya atau insight. Bagian atau onderdil-onderdil sekarang mulai dikaitkan dengan hubungan totalitasnya.
Mengacu pada teori tersebut, maka pengembangan garap kemasan wayang untuk anak usia sekolah ini perlu mempertimbang skala prioritas garap yang mengarah proses pada penumbuhan daya apresiasi dan daya hayat anak terhadap tokoh-tokoh wayang (purwa). Oleh sebab itu dalam penelitian ini sebagai langkah awal yang dilakukan adalah memberikan contoh-contoh konkret tentang tokoh-tokoh wayang, terutama yang dipandang paling popular dan menjadi faforit masyarakat
Khusus untuk kepentingan ini diambil tiga tokoh popular sebagai contoh yang dipandang representatif, yaitu: Bima, Gathutkaca, dan Srikandi. Adapun kemasan model penyajiannya ditekankan pada:
1. Kisah tokoh, yang mencakup: genealogi (silsilah), dan kronologi (kelahiran, masa kanak-kanak, masa dewasa, perkawinan, dan penobatan atau jumenengan). (didukung dengan contoh-contoh lakon, narasi dan deskripsi yang disertai gambar dan;atau foto.
2. Wujud tokoh: wanda wayang berangkat dari wayang tradisi dikembangkan secara berjenjang dari perubahan raut muka, atribut, dan asesoris (dari wujud yang paling komplek hingga yang paling sederhana) mudah ditangkap oleh memori anak. Hal ini dapat didukung dengan penampilan gambar-gambar tokoh: wayang purwa, wayang komik, wayang pengembangan baru, dan wayang wong.
3. Memberikan ilustrasi perbandingan tokoh wayang dengan tokoh-tokoh film kartun yang populer masa kini, seperti: Super Man, Spider Man, dan Herkules, untuk meyakinkan mereka bahwa tokoh-tokoh wayang kita lebih hebat dari pada tokoh-tokoh dari luar itu.
4. Gerak yang menarik; wayang dibuat sedemikian rupa sehingga dalang dapat menciptakan gerak-gerak akrobatik yang menarik bagi anak-anak.
5. Cerita, dikembangkan dari cerita tradisi yang sudah ada, permasalahannya dibangun menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicerna oleh anak. Muatan cerita lebih ditekankan pada pendidikan budi pekerti untuk anak.
G. Kesimpulan
Generasi muda adalah para calon pemimpin bangsa, sebagai calon pemimpin perlu dibekali pengetahuan kepribadian yang cukup matang. Masa depan bangsa dan negara ini ada di pundak mereka, selayaknyalah jika sejak sekarang kita mulai memikirkan secara masak-masak apa yang dapat kita berikan kepada mereka demi kebaikan dan keselamatan bangsa dan negara ini di masa mendatang.
Sebagaimana Ki Hadjar Dewantara dengan konsep tri dharma kepemimpinannya yang berbunyi: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, ketika seorang pemimpin menjadi garda depan, harus menjadi tauladan bagi bawahan dan rakyatnya dalam segala perilakunya. Ketika berada di level menengah, seorang pemimpin harus mempunyai inisiatif, mencetuskan ide-ide positif yang memberikan kontribusi bagi kemajuan negaranya. Ketika seorang pemimpin berada di level bawah, harus mendukung berbagai kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah di pusat, dan melaksanakan sebaik-baiknya.
Pengertian pemimpin dalam hal ini memiliki arti luas, tidak hanya pejabat-pejabat formal dalam kelembagaan negara, tetapi semua bangsa atau warga negara ini adalah “pemimpin”, dalam arti pemimpin bagi negara, pemimpin bagi masyarakat, pemimpin bagi keluarga, dan pemimpin bagi dirinya sendiri. Seseorang harus dapat menjadi tauladan, dapat mencetuskan suatu gagasan, dan mampu mendorong kemajuan negara. Untuk dapat mewujudkan itu tentu saja orang harus mengisi jiwanya dan mengasah pikirannya dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan. Orang Jawa sangat kental dengan budaya simbol. Cerita dan tokoh-tokoh wayang merupakan ungkapan simbolik tauladan-tauladan yang mengandung ajaran kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus pandai-pandai menjaga dan mempertahankan kehormatan negaranya, melindungi rakyatnya, dan selalu mawas diri (mulat sarira), mau menerima kritik dan saran dari berbagai pihak, serta berani mengakui segala kekurangannya, dan sanggup menghadapi segala kenyataan. Segala sesuatu mengenai cacad dan kekurangan pribadi tidak hanya dihitung dengan jari, tetapi harus dihayati sampai pada perasaan yang paling dalam.
Wayang merupakan produk budaya Jawa sebagai wahana penyampaian nilai-nilai moral, maka mentauladani nilai-nilai dalam pewayangan boleh dikatakan merupakan salah satu kewajiban orang Jawa untuk mencapai hidup selaras dan berwatak bijaksana. Kiranya tidak salah apabila ada orang yang menyanjung wayang sebagai salah satu seni klasik tradisional yang adiluhung. Kata adiluhung ini hendaknya tidak sekerdar menjadi obat bius yang memabukkan, tetapi hendaknya dipahami dalam konteks terhadap isinya yang mengandung nilai filosofi tinggi dan dikarenakan sifatnya yang rohaniah dan religius. Nilai-nilai itulah yang perlu ditanamkan kepada generasi penerus bangsa ini sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedigt, R.OG., Mithology and the Tolerance of the Javanese. Cornel Modern Indonesia Project, 1996. Diterjemahkan oleh Ruslani. Yogyakarta: Qalam, 2000.
Atmatjendana, al. Najawirangka, Serat Tuntunan Caking Pakeliran Lampahan
Irawan Rabi. Jogjakarta: B.P Bahasa dan Sastra Jawa, 1960.
Edmund Burke Feldman, 1967. Art AS Image and Idea. New Jersey: Prencict Hall., Inc.
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, alih bahasa Met Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Eirlangga, 1999.
Kartini Kartono, Psikologi Anak. Bandung: Mandar Maju, 1995.
Sastra Amidjaja, Sena, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.
Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002.
UNESCO, Wayang Indonesia Performance. Livret Program Book. Jakarta: SENAWANGI & PT Gramedia, 2004.
Yuli Nugroho, Samsunu., Semar & Filsafat Ketuhanan. Jogjakarta: Gelombang Pasang, 2005.

WAYANG PANJI (GEDHOG) DAN FILSAFAT JAWA

A. Pendahuluan
Indonesia di mata dunia dipandang sebagai negara yang paling kaya akan seni dan budaya. Di dalam era persaingan global ini salah satu kekayaan yang dapat diandalkan adalah produk budaya terutama kesenian. Salah satu produk seni budaya yang masih digemari oleh masyarakat dan mendapat pengakuan dunia adalah seni wayang atau pewayangan. Pengakuan bangsa-bangsa sedunia terhadap ke-adiluhung-an seni wayang menuntut konsekuensi nyata dari sikap dan perilaku kita sebagai bangsa Indonesia yang telah dikenal di mata dunia sebagai bangsa pemilik seni wayang. Predikat yang diberikan oleh The United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahwa Seni Wayang merupakan karya agung warisan dunia, dan telah diproklamirkan sebagai a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity bukanlah semata-mata sanjungan belaka untuk membanggakan diri kita. Akan tetapi, itu merupakan pacu bagi bangsa Indonesia untuk introspeksi dan melihat ke depan apa yang harus kita perbuat, agar nilai-nilai yang terkandung dalam seni wayang itu menjadi lebih berarti bagi kehidupan manusia. Yang dimaksud wayang dalam konteks ini bukan hanya wayang kulit purwa saja, melainkan semua jenis wayang yang ada di Indonesia, salah satu di antaranya termasuk Wayang Gedhog (Wayang Panji). Oleh karena itu, dalam kerangka ini penulis ingin melihat selintas makna ceritera wayang tradisional Jawa khususnya Wayang Gedhog (Wayang Panji) melalui sudut pandang ilmu filsafat.
B. Informasi Adanya Wayang
Orang Jawa pada umumnya memandang wayang sebagai ”cermin kehidupan” atau wewayanganing urip. Ditinjau dari asal mulanya, seni pertunjukan wayang merupakan hasil karya dari kegiatan religius masyarakat Jawa pada zamannya, karena ceritera wayang dipandang sangat sesuai untuk menyampaikan hal-hal ke-Ilahi-an (Zoedmulder, 1990:285).
Wayang dalam bahasa Jawa juga disebut Ringgit. Sejak zaman dahulu sudah dikenal istilah hawayang atau haringgit. Seperti terdapat dalam prasasti (840 M) lempengan IVa menyebutkan: ”hanapuka warahan kecaka tarimban hatapukan haringgit abanyol salahan”, yang artinya bahwa ”mereka para seniman topeng, tari kecaka, wayang, dan lawak ”(Timbul Hariyono, 2005:176). Kemudian dalam prasasti Wukajana pada masa Raja Balitung (Abad ke-9) menyebutkan.
”Hinyunaken tontonan mawidu sang tangkil hyang sinalu macarita bhima kumara mangigel kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus mabanyol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang macarita ya kumara”
Artinya
”Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh sang Tangkil Hyang Si Nalu berceritera Bhima Kumara dan menarikan Kicaka si Jaluk berceritera Ramayana, menari topeng dan melawak oleh Si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk Hyang (arwah nenek moyang) dengan ceritera (Bhima) Kumara” (Timbul Haryono, 2005:117)
Informasi di atas menunjukkan bahwa pada zaman itu sudah ada seni pertunjukan, seniman, dan ada permainan wayang yang dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Jadi pertunjukan wayang pada saat itu lebih difungsikan sebagai sarana ritual. Kata wayang atau ringgit dalam hal ini adalah pertunjukan yang menggunakan media wayang yang dibuat dari kulit lembu atau kerbau yang pipih, dan hanya memiliki dua demensi menghadap ke kanan dan/atau ke kiri saja.
Cerita pewayangan hidup dan berkembang di Indonesia melampaui berbagai lintasan zaman, sejak zaman Mataram Hindu hingga Mataram Islam sampai sekarang. Pada zaman Mataram Hindu banyak pujangga istana menciptakan karya-karya sastra yang mengambil objek ceritera wayang, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Adapun garapan ceriteranya ada yang berwujud saduran-saduran dari karya-karya sastra India seperti Ramayana dan Mahabharata; ada pula yang merupakan pengembangan dari keduanya, malahan ada yang tidak mengacu pada dua ceritera tersebut, tetapi merupakan ciptaan para pujangga yang mengacu pada budaya masyarakat di zaman itu.
Berita tentang adanya pertunjukan wayang di Indonesia lebih jelas lagi dapat ditengok dalam karya-karya sastra para pujangga zaman kuno, seperti Serat Arjunawiwaha yang dikarang oleh Empu Kanwa pada zaman pemerintahan Raja Erlangga di Kediri sekitar abad XI Masehi. Informasi itu ditemukan dalam pupuh V Cikarini pada 9, yang berbunyi sebagai berikut.
”…ananonton ringgit manangis asĕkĕl muda hidhĕpan huwus wruh towin ya(n) walulang inukir molah angucap atur ning wwa(ng) tŗşneng wişaya malahā tan wi(hi)ka(nhi)na, rtattwa(y)a.n (m)āyā sahana-hana ning bhawā siluman…”(Wiryamartana, 1990:81).
Terjemahannya kurang lebih demikian
”…menonton wayang menangis terisak-isak itu sikap orang bodoh, pada hal sudah tahu bahwa itu hanyalah kulit yang diukir, digerakkan dan diucapkan oleh dalang, itulah sebagai orang yang terbelenggu dalam keduniawian dan tersesat hatinya, yang dilihat itu sebenarnya hanyalah semu belaka bagaikan sulapan…”
Dapat diperkirakan bahwa pertunjukan wayang pada waktu itu sudah menggunakan boneka wayang yang dibuat dari kulit yang dipahat, digerakkan dan diucapkan oleh dalang, bahkan ceriteranya sudah mampu menyentuh hati para penontonnya hingga menangis. Lebih dari pada itu pertunjukan wayang juga sudah dimaknai sebagai simbol-simbol tauladan di dalam kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu. Dengan munculnya ceritera-ceritera pewayangan di dalam seni pertunjukan, maka peran dari karya-karya sastra pewayangan itupun berkembang pula sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat.
Ditinjau dari aspek pertunjukannya, wayang Jawa terdiri dari beberapa macam; di antaranya adalah Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Madya, dan Wayang Wasana. Wayang purwa pada umumnya menggelarkan lakon yang bersumber pada siklus ceritera Ramayana dan Mahabharata; Wayang Gedhog bersumber pada siklus ceritera Panji; Wayang Madya besumber pada siklus ceritera Madya, yaitu ceritera mengenai tokoh-tokoh keturunan Pandawa setelah raja Parikesit pada akhir zaman kerajaan Hastina. Wayang Wasana adalah pertunjukan wayang yang mengambil ceritera dari kisah-kisah kerakyatan dan sejarah; pertunjukannya berupa wayang suluh, wayang kancil, wayang Pancasila, wayang perjuangan, dan sebaginya. Adapun yang dimaksud wayang dalam penelitian ini adalah pertunjukan wayang kulit yang juga lazim disebut Wayang Purwa.
Damardjati Supadjar (2001: 7) membedakan pengertian Wayang Kulit dan Wayang Purwa. Disebut Wayang Kulit, karena boneka wayang itu dibuat dari kulit binatang, dilukis, dipahat, dan dibuat beraneka warna, sehingga menenangkan anak-anak untuk menontonnya. Posisi anak-anak menonton wayang itu pada umumnya dari depan kelir atau dari luar. Adapun disebut Wayang Purwa karena memuat intisari ajaran tentang Amurwa Kandha, yang berpangkal tolak dari Eneng-Ening “sesungguhnya tidak ada apa-apa”. Kecuali yang berkata tanpa kata demikian itu, purwa, madya. wasana, sejalan dengan posisi kayon tegak lurus di tengah-tengah kelir. Wayang Purwa ini pada umumnya yang menonton orang-orang dewasa, dan cara menontonnya dari belakang kelir atau dari dalam. Jadi orang nonton wayang yang ditonton adalah bayangannya bukan fisiknya. Dengan kata lain wayang itu yang dilihat bukan kulitnya, tetapi sari pati dari lukisannya yang berupa bayangan yang indah dipandang dari belakang kelir, karena diterangi oleh cahaya lampu yang disebut blencong, demikian pula halnya dengan pertunjukan Wayang Madya dan Wayang Gedhog (Panji).
Sajian pertunjukan wayang Gedhog tidak jauh berbeda dengan wayang kulit purwa, yaitu melibatkan berbagai unsur seni lainnya seperti: seni drama, seni sastra, seni karawitan, dan seni rupa. Melalui unsur seni drama, pertunjukan wayang dapat diketahui dan dihayati makna falsafati nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ceritera atau lakon. Dari unsur seni sastra dapat didengar dan dihayati ungkapan-ungkapan bahasa pedalangan yang indah dan menawan. Pada umumnya bahasa pedalangan tradisi, khususnya pedalangan yang hidup di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menggunakan tata bahasa Jawa yang banyak diwarnai dengan penggunaan bahasa Kawi. Dengan kehadiran kata-kata atau edium-edium bahasa Kawi dalam bahasa pedalangan, menimbulkan kesan spesifik dan adiluhung. Dengan kehadiran unsur seni lukis atau rupa dapat dilihat bentuk wayang dengan tata warna dan lukisan asesoris yang indah dan representatif sesuai dengan karakter kejiawaan masing-masing wujud wayang. Dengan demikian seorang dalang ataupun penonton akan mudah melihat dengan jelas perbedaan tokoh satu dan lainnya.
Kiri: Panji Anom, kanan: Panji Sepuh
Koleksi ISI Surakarta
Menurut Serat Centini, Wayang Gedhog timbul pada abad VX, dicipta oleh Sunan Ratu Tunggul pada zaman Demak. Penciptaan wayang ini ditandai dengan sengkalan Gambar Naga ing Dipatya (1485 Saka). Semula wayang ini hanya menceritakan lakon Panji, tetapi dalam perkembangannya Sunan Bonang memasukkan cerita Damarwulan pada tahun 1488 Saka. Sunan Ratu Tunggul di Giri (Sunan Giri) mencipta Wayang Gedhog tanpa tokoh raksasa juga tanpa tokoh kera. Adapun tokoh-tokoh utamanya antara lain: Panji Asmarabangun (Inu Kartapati), Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana), Panji Gunungsari, Prabu Klana Sewandana, dan Bugis sebagai bala tentaranya. Penciptaan Wayang Gedhog ini diawali dengan pembuatan tokoh Bathara Guru memegang tombak dililit seekor naga, dengan sengkalan yang berbunyi: Gegamanaing Naga Kinaryeng Bathara, menunjukkan angka tahun 1485 Saka/1563 M ( Soetarno, 2007: 134). Cerita Panji ini juga populer di Thailand dan Kambodja, tokoh Panji Inu Kartapati disebut dengan nama populernya Hino atao Inoe.
Kiri: Panji Gunungsari, kanan: Panji Inu Kartapati (Sepuh)
Koleksi: ISI Surakarta
Wayang Gedhog cukup berkembang ketika pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) di Surakarta, di keraton pada waktu itu setiap sebulan sekali dipergelarkan Wayang Gedhog. Pertunjukan ini dilakukan ketika raja meninggalkan kerajaan (jengkar) dalam beberapa hari, selama raja pergi di keraton diadakan tuguran, para abdi dalem keraton bergiliran menjaga keraton. Pada setiap malam tuguran itu diadakan pertunjukan wayang, mulai dari Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Gedhog, sampai Wayang Krucil atau Wayang Klithik. Dengan demikian semua jenis wayang yang ada di keraton pada waktu itu tampak hidup, karena pada saat-saat yang telah ditentukan selalu dipertnjukkan.
C. Wayang Panji dan Filsafat Jawa
Ketika ada pertanyaan mengenai Orang Jawa, wayanglah sebagai cermin untuk melihat proyeksi kehidupan orang Jawa secara lengkap dengan filsafat dan kebudayannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Susilo (2000: 74) bahwa, wayang secara tradisional adalah intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang merupakan warisan turun-tumurun, dan secara konvensional telah diakui bahwa ceritera dan karakter tokoh-tokoh wayang itu merupakan cerminan inti dan tujuan hidup manusia. Penggambarannya sedemikian halus, penuh dengan simbol-simbol (pralambang dan pasemon) sehingga tidak setiap orang dapat menangkap pesan atau nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kehalusan wayang merupakan kehalusan yang sarat dengan misteri. Hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan batin tertentu saja yang mampu menangkap inti sari dari pertunjukan wayang.
Wayang pada hakikatnya adalah simbol dari kehidupan manusia yang bersifat kerokhanian. Sebagai kesenian klasik tradisional, wayang mengandung suatu ajaran yang bersinggungan dengan hakikat manusia secara mendasar. Di antaranya ialah ajaran moral yang mencakup moral pribadi, moral sosial, dan moral raligius (Nugroho, 2005: 11). Pertunjukan wayang menggelarkan secara luas mengenai hakikat kehidupan manusia dan segala di sekitarnya serta rahasia hidup beserta kehidupan manusia. Melalui pertunjukan wayang manusia diseyogyakan merenungkan hidup dan kehidupan ini utamanya mengenai kehidupan pribadi yang berhubungan dengan sangkan paraning dumadi dan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi kehidupan di dunia yang tidak lama ini.
Dewasa ini apabila terdengar pembicaraan tentang karya-karya budaya tradisional, pada umumnya orang mempunyai persepsi ke belakang. Tradisi selalu diidentikkan dengan yang kuno, irrasional, dan ketinggalan zaman. Akibatnya, banyak tulisan tentang kajian produk budaya masa lampau bernilai tinggi yang muncul di jaman ini kurang diminati oleh generasi sekarang.
Di dalam kesempatan ini penulis ingin mencoba menengok ke belakang dalam kerangka untuk memandang jauh ke depan, dengan menekankan pada penggalian nilai-nilai dalam ceritera Wayang Panji yang dipandang masih relevan bagi kehidupan manusia baik sekarang maupun masa yang akan datang. Nilai-nilai itu dikaji dengan kaidah-kaidah ilmu filsafat, diadaptasikan dengan paradigma baru dalam perkembangan dunia ilmu filsafat sekarang.
Wayang Panji perlu dikaji, karena banyak menyampaikan pesan-pesan berupa nilai-nilai hakikat hidup, pandangan hidup, dan budi pekerti. Hal-hal tersebut terselubung dalam simbol-simbol yang sangat rumit dan lembut. Untuk mengungkap berbagai tabir simbolik dalam lakon wayang itu diperlukan perenungan secara mendalam dan serius. Sudibjo dan Wirasmi (1980: 5) dalam pengentar terjemahan Serat Panji Dadap mengatakan bahwa, Karya sastra lama akan dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yng tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.
Salah satu disiplin yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah-masalah dalam lakon wayang adalah ilmu filsafat.
Melalui penulisan ini diharapkan menambah wawasan tentang pentingnya pemahaman terhadap niali-nilai dalam cerita Wayang Panji yang mengandung nilai-nilai filsafati, sehingga nilai-nilai itu mudah dicerna dan dipahami oleh generasi masa kini dan masa mendatang. Kajian melalui ilmu filsafat merupakan pencarian hakikat kebenaran mendasar. Oleh sebab itu, pembahasan filsafat tentang cerita Wayang Panji akan selalu bergayut dengan tiga cabang filsafat yang saling berkait yaitu “metafisika wayang”, “aksiologi wayang”, dan “epistemologi wayang”.
Secara aksiologis pertunjukan Wayang Panji merupakan eksplorasi dari nilai-nilai kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan manusia. Nilai-nilai itu disampaikan melalui pembeberan peristiwa-peristiwa yang berupa simbol-simbol dalam bentuk pertunjukan. Seperti halnya dapat dilihat pada struktur lakon, struktur adegan, dan penokohan.
Secara epistemolgis, ungkapan simbol-simbol dalam pertunjukan Wayang Panji itu mengandung pesan-pesan pengetahuan ataupun ajaran-ajaran kehidupan. Hal ini terungkap dalam ucapan wacana tokoh melalui dalang, baik berupa narasi maupun dialog tokoh dan wejangan-wejangan. Dengan demikian untuk mencapai kebenaran mendasar mengenai pemahaman nilai filsafati dalam pertunjukan Wayang Panji terlebih dahulu memahami aksiologi dan epistemologi dalam wayang Panji.
Kajian mengenai nilai-nilai dalam pertunjukan wayang secara umum dapat dipastikan mengandung pesan-pesan ontologis, kosmologis, dan antropologis. Tiga aspek tersebut adalah cabang filsafat metafisika. Sedangkan kajian melalui aspek metafisika berarti melakukan metode hermenuitika, karena pengkaji akan melkukan interpretasi prosedural yang mengrah pada penafsiran filosofis yang paling dalam. Oleh karena itu dalam dunia filsafat, metafisika juga dipandang sebagai hermenuitika (Johanis Ohoitimur. 2006).
Membahas cerita Wayang Panji adalah berbicara tentang nilai.”Nilai” adalah sesuatu yang dianggap benar dan perlu dihargai. ”Nilai” mempunyai maksud mengartikan secara umum segala yang menjadi objek penghargaan atau sebagai sesuatu yang pada dirinya layak dihormati atau dikagumi (Muji Sutrisno, 1993: 84). Nilai filsafati dalam wayang adalah pesan-pesan filosofis yang dipandang perlu dan layak dihargai serta ditauladani oleh manusia, yang terdapat di dalam ceritera wayang.
Ditinjau dari struktur pertunjukan secara tradisi semalam pada umumnya mempunyai konvensi yang berdimensi ontologis, karena isinya membeberkan nilai-nilai hakikat keberadaan hidup manusia dalam satu siklus kehidupan yang disebut lekas sangkan paraning dumadi. Secara umum lakon dalam pergelaran semalam itu dapat diinterpretasikan sebagai lambang kehidupan manusia dalam tiga tahap yakni pertama lair, kemudian menjalani lakon, akhirnya mengalami kematian atau lampus.
Selain itu, lakon Wayang Panji juga mengandung banyak simbol-simbol yang dapat dimaknai secara kosmologis, karena dalam pertunjukan wayang dalam lakon-lakon tertentu selalu disampaikan ajaran-ajaran yang mengarah pada pemahaman kehidupan manusia sebagai bagian dari dunia semesta, sehingga sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia harus dapat menyesuaikan keberadaannya secara pribadi atau mikro kosmos, terhadap ketertiban dan susunan kehidupan dunia semesta atau makro kosmos. Dengan demikian manusia akan mengalami hidup yang selaras, serasi, dan seimbang. Cerita Panji yang diadopsi dalam berbagai lakon wayang Panji/Gedhog memiliki satu tipe atau model yaitu tepe lakon penyamaran dan pencarian. Seperti perjalanan Panji Inu Kartapati menyamar sebagai Andhe-Andhelumut seorang kawula cilik, hidup di pedesaan menjadi anak seorang janda, dalam rangka mencari Dewi Sekartaji.
Secara utuh pertunjukan Wayang Panji juga merupakan cerminan tata nilai kehidupan orang Jawa. Dalam perjalanan suatu lakon tersirat mengenai nilai-nilai hakikat kehidupan manusia. Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam lingkungannya, serta dirinya sendiri.
Wayang Panji menyampaikan ajaran moral kepemimpinan. Pengembaraan Panji mencari Dewi Sekartaji bukanlah semata-mata karena asmara, tetapi ini merukan simbol suatu idealisme seorang pemimpin. Putri Sekartaji dapat diibaratkan sebagai simbol puncak kebahagiaan sejati, seorang pemimpin dalam menggapai kebahagiaan sejati hendaknya mengenali segala sesuatu yang ada di sekitarnya, yaitu mengenali semua sifat alam lingkungannya; sebagaimana lakon Wahyu Makutharama dalam pertunjukan Wayang Purwa yang lazim disebut Hasthabrata. Hastha berarti delapan, Brata adalah laku atau tindakan. Hasthabrata dapat diartikan delapan tindakan yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin atau raja. Inti dari Hasthabrata adalah delapan ajaran moral kepemimpinan. Dalam Lakon Wahyu Makuthrama, tokoh yang mendapatkan ajaran Hasthabrata adalah Arjuna, yang disampaikan oleh Begawan Kesawasidhi sebagai wujud lain dari Krisna. Arjuna dan Krisna adalah reinkarnasi dari Wisnu, dalam dunia pedalangan biasa diucapkan oleh dalang; Wisnu binelah panitise dadi Kresna lan Arjuna, kaya suruh lumah lan kurepe, dinulu seje rupane yen digigit tunggal rasane; meskipun dalam dua wujud tetapi satu jiwa. Demikian halnya Panji Inu Kartapati dan Panji Gunungsari.
Perjalanan Panji Asmarabangun mencari Sekartaji tidak semata-mata dapat diartikan secara harafiah. Kata ”perjalanan” dan ”mencari” merupakan simbol ”jiwa rohani dan karakter manusia”. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sri Mangkunegara VII bahwa, tiap lakon wayang merupakan lambang perbuatan mistik atau ”patraping samadi”. Demikian halnya dengan perjalanan Panji. Jadi pengertian ”perjalanan” adalah laku atau tindakan rohani menuju tingkat spiritual terdalam. Sedangkan ”mencari” yaitu upaya menemukan ”Sang Sejati”, yang tidak berwujud wadag melainkan bersifat rohani. Orang bersamadi mencari pencerahan atau kepuasan spiritual ataupun petunjuk Gaib, badannya tidak bergerak dan tidak beranjak dari tempat di mana ia berada; yang bergerak hanyalah jiwanya. Diibaratkan Panji yang melampaui berbagai pengalaman mencari Dewi Sekartaji.
Panji harus berhadapan dengan berbagai rintangan yang menghalanginya sebelum menemukan Dewi Sekartaji. Ini merupakan simbol dari kemungkaran hawa nafsu empat macam Mutmainah, Amarah, Supiyah, dan Lauamah. Oleh karena Panji telah memiliki keteguhan hati dan kesentosaan iman, maka empat penghalang itu dapat dimusnahkan. Jadi dalam hal ini Panji merupakan simbol dari jiwa yang teguh dan mampu menakhlukan hawa nafsu yang menggoda, sehingga cita-citanya tercapai dengan sempurna.
Kiri: Raden Klana Sasra Hadimurti, kanan: Prabu Klana Sewandana
Koleksi ISI Surakarta
D. Panji Asmarabangun sebagai Simbol Kepemimpinan Jawa
Perjalanan Panji Asmarabangun sebagai kawula cilik hidup menyatu dengan orang-orang desa merupakan simbol pemahaman manusia terhadap alam semesta, yaitu kemanunggalan mikrokosmos dan makrokosmos. Dengan memahami sifat-sifat alam semesta berarti manusia menyadari pula akan kekuasaan Tuhan Maha Pencipta. Sebagaimana yang diajarkan oleh Begawan Kesewasidi kepada Arjuna dalam lakon Wahyu Makutharama; bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang baik harus menjalankan delapan watak alam yang disebut Hasthabrata. Adapun delapan watak alam dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Watak Surya; artinya Matahari. Seorang pemimpin harus berguna laksana matahari. Matahari di pagi hari selalu terbit dari timur dan sore hari tenggelam di barat, itu sebagai lambang sifat setia dan selalu menepati janji. Dengan sinar matahari, segala yang ada di muka bumi dapat hidup dan berkembang sesuai kodratnya masing-masing. Sebagai seorang pemimpin harus setia pada janjinya, mampu memberi kekuatan dan semangat hidup bagi rakyatnya.
2. Watak Candra; artinya Bulan. Cahaya bulan menerangi di waktu malam hari, berkesan sejuk indah dan damai. Seorang pemimpin harus menunjukkan sikap yang menarik dan menyenangkan, serta mampu menerangi hati rakyatnya yang sedang mengalami kesusahan; laksana bulan purnama. Nama lain Dewi Sekartaji adalah Galuh Candrakirana, Candra berarti rembulan, kirana artinya cahaya Panuji Asmarabangun selalu mencari di mana Candrakirana berada, ini merupakan lambang bahwa seorang raja harus selalu memiliki cahaya keindahan yang mampu menyejukkan rakyatnya.
3. Watak Kartika; artinya Bintang. Bintang di langit pada malam hari nampak indah bagaikan hiasan permata, dan selalu tetap pada tempatnya. Bintang juga berguna sebagai petunjuk arah bagi para nelayan. Seorang pemimpin harus berfungsi laksana bintang, yaitu bersikap tenang, dapat menjadi tauladan, dan menjadi kiblat atau pedoman bagi rakyatnya.
4. Watak Himanda; artinya Awan. Awan di angkasa kelihatan seram dan menakutkan, tetapi apabila sudah menjadi hujan sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Seorang pemimpin harus berguna laksana awan, yakni berwibawa, dan bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.
5. Watak Kisma; artinya Bumi. Bumi setiap hari diinjak oleh manusia, dinajak, dicangkul dan sebagainya. Akan tetapi bumi tidak pernah menyesal, tidak pernah mengeluh, bahkan barang siapa menjatuhkan benih di bumi pasti akan tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Setiap pemimpin harus bersifat laksana bumi, yakni berbudi sentosa dan jujur, tidak suka hanya menerima pemberian, bahkan selalu memberi anugerah kepada siapa saja yang berjasa terhadap bangsa dan negara.
6. Watak Dahana; artinya Api. Api memiliki sifat tegak menyulut ke atas. Barang siapa menghalangi api tentu akan terbakar. Api sebagai lambang ketegasan dan keadilan. Setiap pemimpin harus bersikap laksana api, yakni tegas dan berani memberantas semua rintangan secara adil tanpa pandang bulu.
7. Watak Samodra; artinya Air. Samodra luas tanpa batas dan menampung segala muara air. Setiap pemimpin harus bersifat laksana samodra atau air, yaitu lapang dada, adil, sanggup menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak membeda-bedakan cara merangkul rakyatnya (momot, momong, memayu, dan memangkat)
8. Watak Samirana; artinya Angin. Tiada tempatyang tidak terkena angin, di gunung ada angin, di lembah dan dasar samoderapun ada angin. Setiap pemimpin harus bertindak laksana angin, yaitu melakukan tindakan teliti dan mencermati segala lapisan, jika rakyat yang ada di lapisan atas didekati, rakyat di lapisan bawahpun juga harus didekati, sehingga tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Melihat sekilas paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua isi dari ajaran delapan watak alam semesta itu merupakan ajaran moral kepemimpinan yang masih memiliki relevansi tinggi bagi kehidupan aktual di zaman sekarang dan di masa mendatang. Hal-hal yang berhubungan dengan nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan dapat didekati dengan filsafat moral. Ketika orang menangkap suatu pesan kemudian timbul pertanyaan tentang apa sebenarnya di balik pesan itu?, ini adalah pertanyaan filosofis metafisik. Kebenaran, kejujuran, dan keadilan adalah menjadi keyakinan dan harapan dalam kehidupan secara universal. Panji Asmarabangun sebagai seorang raja selalu berbaur dengan rakyatnya, ia melalui cara menyamar dan menyelinap ke deswa-desa. Oleh karena itu dipandang perlu nilai-nilai dalam Wayang Panji ini untuk digali makna filsafati yang terkandung di dalamnya dan selalu disosialisasikan kepada masyarakat luas, guna membangun kualitas moral bangsa Indonesia tercinta ini.
Pengertian kepemimpinan dalam ajaran tersebut bukan semata-mata suatu tuntunan bagi seorang raja memimpim rakyatnya, akan tetapi juga pemahaman bagi manusia pada umumnya terhadap kodratnya, sehingga mampu memimpin dirinya sendiri.
E. Kesimpulan
Karya budaya Jawa seperti pertunjukan Wayang Panji sangat tepat apabila dikaji secara filsafati. Pengkajian filsafati dalam lakon-lakon Wayang Panji tentu melibatkan berbagai cabang filsafat seperti metafisika, etika dan estetika. Dari aspek metafisika, lakon wayang dapat dilihat dari aspek ontologi, kosmologi, dan antropologi. Dengan pendekatan metafisika otomatis pengkaji akan menerapkan metode hermenuitika. Melalui metode hermenuiktika maka dapat ditemukan makna filsafati yang paling dalam dari berbagai nilai yang tersirat pada pertunjukan wayang. Dengan demikian pemahman dan penyebarluasan nilai itu tidak hanya bersifat konservatif semata, tetapi akan muncul inovasi-inovasi yang tetap mengacu pada roh nilai-nilai tradisi yang sudah mapan dan diakui oleh masyarakat luas, serta diaktualisasikan sesuai dengan kondisi zamannya.
Dengan demikian Wayang Panji tidak hanya dipandang sebagai seni pertunjukan semata, akan tetapi lebih dipahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman nilai-nilai itu akan memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dan martabat manusia yang pada gilirannya akan memberikan andil dalam pembentukan sikap dan watak Bangsa Indonesia.
Selamat Seminar!
DAFTAR PUSTAKA
Asdi, Endang Daruni, Manusia Seutuhnya dalam Moral Pancasila. Jogjakarta: Pustaka Raja, 2003.
Ciptopawiro, Abdullah , Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Damardjati Supadjar.
2001 Mawas Diri Dari Diri yang Tangal, ke Diri yang ”Terdaftar, Diakui, Disamakan”, yakni Diri yang Terus Terang dan Terang Terus. Yogyakarta: Philosophy Press,.
Darusuprapta, Serat Wulang Reh. Surabaya: Citra Jaya Murti, 1992.
Drijarkara, N. SJ., Filsafat Manusia. Jogjakarta: Kanisius, 1998
Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala, 2003.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jogyakarta Pustaka Jaya, 1999.
Harsaja, Siswa, Pakem Makutarama. Jogjakarya: Pesat, 1954.
Haryono, Timbul, Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. Surakarta: Program Pendidikan Pasca sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta 2005.
Hudoyo, Suryo, Serat Bagawadgita. Surabaya: Djojo Bojo, 1990.
Johanis Ohoitimur, Metafisika Sebagai Hermeneutika. Jakarta: Obor, 2006.
Kant, Immanuel, terjemahan Robby H. Abbror. Dasar-Dasar Metafisika Moral. Yogjakarta: Insight Reference 2004.
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni. Yogyakarta: Paradigma, 2005.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. Terjemahan Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi
Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984.
Langeveld, MJ., Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan, tt.
Mulyono, Sri, Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Mulyono, Sri, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: CV. Masagung, 1989.
Mulyono, Sri, Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Alda,
1975.
Palmer, Richard E., Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston: Noerthwestern University Press, 1969.
Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogjakarta: Pustaka
pelajar, 2005.
Scheler, Max, Nilai Etika Aksiologis, terjemahan Paulus Wahana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Sastro Amidjojo, Seno, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.
Siswanto, Joko, Metafisika Sistematik. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2004.
Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002.
Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak SJ., Estetika Filsafat Keindahan. Jogjakarta:
Kanisius, 1993
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Suyanto, Nilai-Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu Makutharama dalam
Perspektif Metafisika. Surakarta: ISI Press, 2009.
Wiryamartana, Kuntara I., Arjunawiwaha. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 1990.
Wignyosoetarno, Lampahan Makutarama Pedalangan Ringgit Purwa Wacucal. Surakarta: Yayasan P.D.M.N., 1972.
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jogyakarta: Kanisius,1990.
BIODATA PENULIS
a. Nama : Dr. Suyanto, S.Kar., MA.
b. Tempat dan tanggal lahir : Malang, 13 Agustus 1960
c. Pangkat/jabatan : Pembina Tk. I, IVb/Lektor Kepala,
Pembantu Dekan I Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
d. Riwayat pendidikan tinggi:
1966 – 1972: Sekolah Dasar Negeri Undaan, Turen, Malang.
1973 – 1976: Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gondanglegi,
Malang.
1976 – 1979: Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Turen, Malang.
1981 – 1984: Sarjana Muda Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta.
1985 – 1986: Seniman/Sarjana (S-1) Akademi Seni Karawitan Indonesia
Surakarta.
1994 – 1996: S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Asia
Tenggara Universitas Sydney Australia.
2005 – 2008: S-3 Program Studi Ilmu Fisafat Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
e. Riwayat Pekerjaan:
1986 – 1987: Sebagai guru di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Widyadarma Turen, Kab. Malang, Jawa Timur.
1988 sampai sekarang sebagai dosen Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta
f. Karya Ilmiah:
1988: ’’Tinjauan Pengetahuan Pedalangan Karya R. Soetrisno’’. Laporan
penelitian.
1990: ’’Danapati’’. Laporan Penelitian.
1996: ’’Wayang Malangan: Background, Performance and Performer’’. Tesis S-2 Universitas Sydney Australia.
1997: ’’Wayang Malangan: Kesenian Rakyat dan Tradisi Oral’’. Artikel dalam
majalah ATL edisi 1997.
1999: ’’Studi Sabet Wayang Malangan’’. Laporan penelitian mandiri.
2001: Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Buku
referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika Surakarta.
2000: ’’Tinjauan Lakon Bharatayudha Versi Sudarman Ganda Darsana’’.
Laporan penelitian kelompok.
2001: ’’Pakeliran Jawa Timuran Gaya Porongan’’. Laporan penelitian.
2002: Wayang Malangan. Buku referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika
Surakarta.
2003: ’’Makna Tokoh Kaslupan dalam Ceritera Wayang Jawa’’. Laporan
penelitian.
2004: ”Konsep-Konsep Ceritera Wayang Jawa Dengan Tokoh Kaslupan”.
Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Surakarta.
2005: ”Metafisika Sebagai Hemeneutika Dalam Penelitian Filsafat Lakon
Wayang. Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta.
2006: ”Nonton Wayang Dari Dunia Filsafat”. Jurnal Lakon. Jurusan
Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta.
2008: Teori Pedalangan. Buku Referensi diterbitkan oleh ISI Surakarta
Press.
2008: “Metafisika Dalam Lakon Wahyu Makutharama Relevansinya Bagi
Kepemimpinan”. Penelitian Disertasi Progam Doktor dalam Ilmu
Filsafat, Program Studi Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada

SENI PERTUNJUKAN WAYANG SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Sayanto, S.Kar., MA.
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah bagian dari sistem pengetahuan yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Sebagaimana diutarakan oleh Koenjaraningrat (1981: 202-209), bahwa kebudayaan merupakan sistem dalam kehidupan manusia yang mencakup sistem religi, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem bercocok tanam, dan sistem kesenian. Pendidikan mengarahkan manusia kepada cara berpikir cerdas dan rasional. Seperti tercantum di dalam pembukaan UUD 45, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai suatu bangsa harus memiliki kecerdasan dalam berpikir, mampu memelihara perdamaian dalam kehidupan bersama di muka bumi, dan mampu menegakkan kebenaran yang seadil-adilnya.
Manusia dan kebudayan selalu berada dalam bingkai ruang dan waktu tertentu yang disebut ”jaman”. Jaman merupakan suatu periode di mana manusia dan kebudayaannya berada. Dari jaman ke jaman kehidupan manusia selalu dihadapkan dengan situasi kebudayaan yang selalu berubah dan berkembang. Di dalam perjalanan perubahan dan perkembangan itulah manusia silalu dituntut mengembangkan daya kreatifitas dalam memenuhi hajat hidupnya. Hal yang yang perlu menjadi komitmen bahwa, manusia modern, pada dasarnya, adalah manusia yang sepenuhnya menyadari akan kebudayannya, aktif turut memikirkan dan merencanakan arah yang harus ditempuh oleh kebudayaan secara manusiawi (Peursen, 1988: 10).
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang menjadi sarana ekspresi manusia untuk mengungkapkan gagasan tentang keindahan. Kesenian adalah produk budaya manusia yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepada manusia sebagai pemiliknya. Oleh karena itu semua bangsa tentu mempunyai semboyan bahwa kesenian perlu dilestarikan. Semboyan ini bukan semata-mata konservasi dari wujud fisiknya, melainkan kandungan nilai-nilai yang mampu memberikan kontribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan jiwa generasi penerusnya.
Hakikat dari seni adalah indah, dalam wujud apa saja karya seni intinya adalah keindahan. Indah dalam arti mengandung pesan dan kesan menarik karena dianggap baik, adiluhung, dan benar. Hakikat indah bukanlah semata-mata sesuatu yang secara ideal dianggap ”bagus”, melainkan ada suatu kandungan nilai yang mampu menyentuh jiwa yang paling dalam. Nilai itulah yang akan menggerakkan hati manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri, sadar akan lingkungannya, dan sadar akan penciptanya.
Melalui seni, manusia dapat mengambil pelajaran hidup, karena seni pada hakikatnya adalah cerminan pendidikan yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam memberikan pendidikan anak yang berwawasan seni dan lingkungan tidak berarti memaksakan anak didik untuk memahami suatu bentuk seni ataupun aliran seni, hal yang lebih signifikan adalah bahwa nilai seni itu mampu menginspirasi anak didik untuk menggerakkan daya rasional maupun daya emosionalnya sehingga anak memiliki kualitas kecerdasan yang tinggi.
Seni bukanlah teori yang harus menjadi dasar pemikiran untuk pengembangan ilmu, tetapi seni merupakan media ungkap untuk mengekspresikan suatu gagasan. Namun demikian seni merupakan simbol yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Dalam memahami dan mengupas makna dari simbol-simbol yang diungkapkan melalui seni itu, kita dapat memandang dari berbagai aspek disiplin sesuai dengan kebutuhan pengetahuan.
Salah satu bentuk seni yang mengandung nilai-nilai pendidikan adalah ”wayang kulit”. Kesenian ini selalu hidup dan mampu bertahan dari jaman ke jaman berikutnya, karena mampu beradaptasi dengan budaya jamannya. Meskipun dalam perjalanannya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, tetapi ruh yang hakiki dari suatu kesenian itu selalu abadi di masyarakat pemiliknya. Perubahan dan perkembangan itu terjadi karena pandangan budaya masyarakat selalu berubah dan berkembang. Oleh karena itu pandangan akan nilai dalam wayang itupun juga bergerak sesuai dengan karakter dan kepentingan jamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian wawasan bukanlah hal yang bersifat staknan atau statis, melainkan sebagai paradigma yang dinamis. Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan yang mengandung pesan-pesan pendidikan, baik dilihat dari wujud karakter tokoh-tokohnya, pertunjukan, maupun lakon-lakon yang disajikan.
B. Wayang sebagai Gambar Karakter.
Wayang kulit merupakan gambar karakter, bukan gambar figur manusia. Semua ornamen yang ada di dalamnya dilukis serba artistik dan estetik. Secara artistik ornamen-ornamen dalam lukisan wayang tampak menarik, karena mengandung nilai-nilai seni yang edipeni. Secara estetik wujud ornamen dalam lukisan wayang itu mengandung makna simbolik yang berhubungan dengan filosofi karakter masing-masing tokoh. Berbagai ornamen yang yang diukir dan disungging pada figur wayang itu selalu disesuaikan dengan karakter wayang yang masing-masing memiliki ciri-ciri spesifik, misalnya: tokoh Bhima selalu memakai sumping pudhak sinumpet, pupuk jarot asem, kampuh poleng, dan sebagainya. Arjuna selalu mengenakan sumping waderan, kampuh limar ketangi, gelung minangkara, dan lain-lainnya. Ciri khas tokoh-tokoh tersebut tidak hanya sekedar membedakan antara satu dan lainnya, tetapi juga mencerminkan perwatakan tokoh, baik tokoh yang berwatak bijak maupun yang berwatak jahat. Dari perwatakan yang telah menjadi konvensi dalam dunia pewayangan itu dalam masyarakat Jawa tokoh wayang banyak yang menjadi idola masyarakat untuk dijadikan suri tauladan. Misalnya tokoh Bhima dan Anoman dipajang di ruang tamu, diharapkan anak-anak mentauladani watan Bhima yang jujur dan teguh, watak Anoman yang pemberani dan sakti mandraguna.
Kekuatan konvensional dalam wayang banyak mempengaruhi budaya masyarakat, tidak sekedar lukisan yang digunakan sebagai hiasan dan kesenangan, lebih jauh wayang menjadi pandangan hidup, tauladan, dan harapan masyarakat. Misalnya: orang tua memberi nama anaknya dengan nama wayang: Bhima, Yudhistira, Sadewa, Tutuka, Sita, Prita, dan lain-lainnya, semua itu mempunyai harapan bahwa kelak anaknya menjadi orang yang berkarakter seperti tokoh-tokoh wayang tersebut. Bahkan karanter tokoh wayang itu menjadi standar harapan masyarakat, contoh: anak laki-laki diharapkan yang tampan seperti Arjuna, gagah seperti Gathutkaca, pemberani seperti Bhima. Anak perempuan diharapkan cantik seperti Subadra, tangkas seperti Srikandhi. Tidak mungkin orang berharap memiliki anak laki-laki yang brutal seperti Rahwana, jahat seperti Sangkuni. Sejauh itulah nilai-nilai ketauladanan wayang bagi masyarakat penggemar wayang.
Wayang dalam pertunjukannya secara konvensional terdapat dua golongan yang disebut Bala Kiwa dan Bala Tengen. Dua istilah tersebut tidak semata-mata berhubungan posisi penempatan ataupun penataan wayang dalam pakeliran, melainkan istilah yang hubungannya dengan karakter wayang. Yang dimaksud Bala Kiwa adalah tokoh-tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh yang berwatak jahat atau buruk. Tokoh-tokoh ini tidak hanya barupa tokoh yang berwajah buruk saja, seperti raksasa ataupun setengah raksasa, tetapi juga banyak tokoh-tokoh yang jahat yang berupa Ksatriya, Dewa, atau pun Pendeta. Tokoh-tokoh itu dalam pertunjukan wayang pada umumnya diposisikan di sebelah kiri. Sebaliknya dengan tokoh-tokoh yang tergolong Bala Tengen tidak selalu berupa tokoh-tokoh ksatriya yang bagus-bagus atau ganteng-genteng, banyak pula tokoh-tokoh yang berwujud setengah raksasa, dan raksasa. Tokoh-tokoh itu disebut Bala Tengen kaena dalam pertunjukan pada umumnya diposisikan di sebelah kanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah simpulan-simpulan dalam suatu pertunjukan wayang, bahwa pada setiap lakon pada akhir ceritanya Bala Kiwa yang angkara murka selalu dikalahkan oleh Bala Tengen yang yang selalu berpegang pada prinsip kebenaran.
B. Pesan Pendidikan Semesta dalam wayang
Pertunjukan wayang merupakan suatu simbol kehidupan semesta, di dalamnya selalu menyampaikan pesan-pesan yang berhubungan dengan dunia makro dan dunia mikro atau lazim diucapkan oleh dalang jagad gedhé dan jagad cilik. Orang Jawa menginterpretasi dunia mikro bukan hanya terletak pada unsur-unsur kecil yang merupakan bagian-bagian dari dunia makro, tetapi lebih dimaksudkan pada dunia individu manusia. Maka dalam jagad pedalangan selalu diucapkan melalui pocapan padupan demikian: “. . . jagad gedhé yaiku jagad kang gumelar, jagad cilik tegesé jagading sang prabu pribadi. . . “. Maksudnya, jagad besar adalah alam semesta, sedangkan jagad kecil adalah dunia individu sang raja pribadi.
Pertujukan wayang terdiri atas berbagai unsur, baik bersifat fisik maupun non- fisik. Unsur-unsur fisik berupa wayang, gawang dan kelir, bléncong, debog, tapak dara, kothak, gamelan, cempala, keprak, serta lain-lainya. Unsur non fisik yaitu perabot garap pakeliran yang berupa lakon, catur atau wacana, gerak wayang atau sabet, suluk, dodogan dan keprakan, serta karawitan pakeliran. Semua unsur tadi dalam pertunjukan disajikan secara serentak bersama dalam satu kesatuan sistem jalinan yang harmonis, tertib dan teratur, sehingga menghasilkan kesan estetik yang sungguh manakjubkan.
Kelir diibaratkan dunia semesta, warna putih menggambarkan suasana bersih atau kosong tidak ada apa-apa, pada bagian atas diberi plangitan atau langit-langit sebagai simbol dunia atas, sedangkan pada bagian bawah diberi palemahan sebagai lambang bumi atau dunia bawah. Di tengah-tengah kelir diberi sebuah lampu yang disebut bléncong, ini merupakan simbol sinar matahari atau sinar kehidupan. Boneka wayang adalah lambang dunia individu atau kosmis, bisa berupa tokoh-tokoh yang menggambarkan karakter manusia, juga tokoh-tokoh yang melukiskan makhluk hidup lainnya.
Alam semesta diciptakan oleh Tuhan berhubungan dengan keberadaan manusia, terutama unsur-unsur kehidupan. Manusia harus memahami alam semesta yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan, agar hidupnya selalu selamat. Tuhan memberikan arah atau kiblat dalam hidup manusia, agar supaya kehidupan orang itu tidak salah arah. Di dalam kebudayaan Jawa arah itu disebut kiblat papat lima pancer, yang artinya empat penjuru dan satu sebagai pusat di tengah. Kiblat papat itu diberi nama purwa/wétan (timur), daksina/kidul (selatan), pracima/kulon (barat), untara/lor (utara); dan pancer atau madya (tengah). Dalam pandangan Jawa, kiblat papat ini diidentikkan dengan tempat saudara empat dan kelima pancer, yang disimbolkan dengan warna putih di timur, merah di selatan, kuning di barat, hitam di utara, dan biru di tengah. Kiblat alam semesta ini selalu diawali dari arah timur atau purwa. Kata purwa berarti pertama atau asal mula, juga dikatakan wétan yang diperkirakan berasal dari kata wit-an yang berarti “pertama” (Endraswara, 2003: 7).
Di dalam pewayangan keseimbangan kiblat itu digambarkan dalam wujud Kreta Jaladara tinarik jaran papat kunusiran rasa sejati, yaitu kereta kendaraan Raja Kresna yang ditarik oleh empat ekor kuda yang berwarna putih diberi nama Ciptawilaha, yang merah diberi nama Abrapuspa, yang kuning diberi nama Sonyasakti, dan yang hitam diberi nama Sukantha. Masing-masing kuda tersebut memiliki kesaktian berbeda-beda, tetapi mereka bersatu dan saling melilindungi. Dalam kehidupan orang Jawa, arah kiblat tersebut senantiasa harus menyatu dalam posisi yang seimbang. Jika terjadi ketidak seimbangan di antara empat saudara itu maka hidupnya akan terganggu. Sebaliknya jika hubungan antara manusia dengan keempat saudaranya itu harmonis dan seimbang, keempat saudara itu akan selalu membantu (ngreréwangi).
Mengenai sedulur papat lima pancer, Susilo (2002) berpendapat bahwa, kata sedulur atau “saudara” merupakan simbol sifat nafsu setiap manusia, yaitu keinginan dan dorongan hati yang kuat baik ke arah kebaikan maupun kejahatan. Dalam pandangan hidup Jawa empat saudara tersebut dilambangkan dengan warna, misalnya warna merah melambangkan sifat nafsu berangasan atau amarah, warna hitam sebagai lambang sifat nafsu angkara murka atau lauamah, warna kuning melambangkan nafsu birahi atau supiyah, dan warna putih sebagai lambang nafsu kesucian atau mutmainah.
Istilah sedulur papat lima pancer ini juga berhubungan erat dengan kakang kawah adhi ari-ari. Bayi sebelum lahir yang keluar lebih dulu adalah air ketuban yang dalam bahasa Jawa disebut kawah. Karena air ini keluar lebih dulu, maka disebut kakang artinya saudara tua. Setelah bayi itu lahir, baru keluar plasenta yang disebut ari-ari. Kata ari dalam bahasa Jawa mempunyai arti sama dengan adhi, artinya saudara yang lebih muda. Selain itu kelahiran bayi juga diiring keluarnya darah dan gumpalan-gumpalan daging. Jadi saudara empat yang dimaksud terdiri dari air ketuban, darah, daging, dan plasenta atau dalam bahasa Jawa disebut kawah, getih, daging, ari-ari. Adapun yang dimaksud pancer adalah bayi yang lahir itu sendiri atau badan manusia yang hidup sebagai makhluk sempurna ini. Di dalam pertunjukan wayang sedulur papat lima pancer ini disimbulkan dengan ksatriya tampan yang selalu diiring oleh empat abdinya yang disebut Panakawan, yakni Arjuna yang diiring Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Orang Jawa berbicara tentang kosmos otomatis meyinggung tentang hakikat kekuasaan Tuhan. Jadi manusia, kosmos, dan Tuhan adalah suatu kesatuan yang mutlak tidak dapat dipisahkan. Mengenai korelasi manusia dan kosmos, serta Tuhan ini Louis Leahy (2002) berpendapat bahwa, kita megenal Tuhan secara positif dengan memberi-Nya beberapa sifat yang kita ketahui, misalnya sifat ada, sifat baik, sifat pengertian. Akan tetapi sifat-sifat yang kita ketahui itu selalu terbatas. Cara kita sendiri untuk mengetahui telah membuat kita tidak mampu untuk melukiskan suatu kesempurnaan yang tak terbatas. Oleh sebab itu di dalam kehidupan sehari-hari, setiap gagasan kita dikaitkan dengan suatu “representasi”, yaitu dengan suatu gambaran materiil dari suatu obyek yang diberikan oleh panca indera. Kebergantungan ekstrinsik terhadap materi ini membuat pengetahuan manusia secara hakiki terikat pada dunia dan tidak sesuai untuk menangkap realitas Ilahi secara memadai. Oleh sebab itu manusia harus menggunakan istilah-istilah negatif pada waktu berusaha memikir atau membahas perihal Tuhan. Ia sungguh berbeda dengan pengalaman manusia sehari-hari. Ia bersifat tak terbatas, tidak bersebab, dan tidak berakhir. Malahan dapat dikatakan bahwa Dia tidak bersifat baik, tidak berakal, namun dalam hal ini manusia harus berhati-hati, karena jikalau mengingkari bahwa Tuhan adalah baik dan berakal, bukan maksud kita bahwa Dia tidak mempunyai sifat-sifat itu, kecuali hanya bahwa Dia bukan memilikinya dengan cara terbatas yang terkandung di dalam konsep-konsep manusiawi. Dengan demikian, maka telah jelas bahwa setiap kali manusia menggunakan salah satu konsep mengenai diri Tuhan, mereka harus memperbaikinya, dengan meniadakan sifat terbatas dan materiil yang hakiki itu. .
C. Ajaran Kepemimpinan dan Mengenal Lingkungan.
Lakon Wahyu Makutharama merupakan salah satu lakon populer dalam pertunjukan wayang. Lakon ini pada hakikatnya adalah ajaran kepemimpinan yang mentauladani sifat-sifat delapan anasir alam semesta, yang disebut Hastha-Brata. Ajaran ini merupakan jalan pemahaman kosmologis menuju ”kemanunggalan” antara jagad cilik (alam individu) dan jagad gedhé (alam semesta). Barang siapa dapat melaksanakan delapan jalan utama tentang alam semesta akan disebut raja, sebaliknya manusia yang tidak dapat menjalankan delapan jalan utama itu akan disebut raja tak bermahkota. Seperti yang disampaikan oleh Nartasabda, wejangan Hastha Brata dari Begawan Kesawasidhi yang diberikan kepada Arjuna. Hastha Brata berupa delapan ajaran yang mentauladani watak alam, yang terdiri atas: (1) surya atau matahari, (2) candra atau bulan, (3) kartika atau bintang, (4) himanda atau awan, (5) kisma atau bumi, (6) dahana atau api (7) tirta atau air, dan (8) samirana atau angin. Simbol-simbol tersebut bukanlah semata-mata merupakan lambang sebagai ketauladanan watak saja, akan tetapi juga mengandung nilai pendidikan untuk memahami sifat-sifat dari tiap-tiap unsur alam itu, sehingga memberikan pemahaman bagi manusia betapa pentingnya keberadaan semua unsur alam itu bagi kehidupannya. Dengan demikian manusia tidak memperlakukan alam ini secara semena-mena. Adapun Hastha Brata itu jika ditinjau dari aspek kosmologi dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Watak Surya
Matahari memiliki daya kekuatan menyinari alam semesta. Dengan adanya matahari, segala makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi dapat hidup, tidak memandang besar kecil, tinggi rendah, baik dan buruk, semua mendapat sinar matahari. Matahari menyinari samodera, air samodera menguap menjadi awan, di angkasa awan mencair manjadi air hujan. Jatuhnya air hujan ke bumi, menjadikan bumi subur dan segala sesuatu yang tumbuh di bumi menjadi subur. Di dalam alam individu (kosmis) manusia juga memiliki daya semangat yang didorong oleh kekuatan nafsu dan kehendak dalam hidup manusia. Semangat dalam jiwa manusia ini mempunyai peran sama seperti matahari dalam dunia makro. Ketika manusia masih memiliki daya semangat yang besar, akan selalu memanfaatkan hidupnya untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya. Semangat manusia itu akan menyinari semua unsur biologis yang berhubungan dengan kehendak, cita-cita, ide, dan pikiran, sehingga semua unsur itu akan bergerak secara terus menerus sesuai dengan peranannya dalam kehidupan ini. Tetapi apabila semangat itu padam, maka semua unsur itu tidak akan bergerak lagi, artinya hidup manusia ini tidak berguna lagi. Maka seorang pemimpin bagsa, selain perlu mentauladani sifat matahari, harus memahami pula kedudukan matahari itu dalam keteraturan semesta. Dengan memahami kedudukan matahari di dunia ini, maka manusia akan menyadari betapa pentingnya matahari ini bagi kehidupan semesta, atas kesadaran itu tentunya manusia akan tersentuh nuraninya untuk selalu menjaga segala perbuatannya yang sekiranya akan mengganggu kelestarian alam. Misalnya langkah-langkah riil yang dilakukan oleh orang-orang Amerika tentang pencegahan green haouse effect, larangan tentang seeking corral, dan pemerintah Indonesia sekarang juga melarang perusahaan-perusahaan besar menggunakan bahan-bahan kimia yang berakibat merusak lapisan ozon, dan lain sebagainya.
2) Watak Candra
Bulan memantulkan cahaya karena mendapat sinar dari matahari, cahaya itu memantul ke bumi menerangi di waktu malam hari. Cahaya bulan memiliki daya sejuk dan menenteramkan hati yang memandangnya, maka bulan dapat dikatakan sebagai lentera kehidupan. Bagi orang Jawa, Rembulan juga digunakan sebagai pertanda waktu (penanggalan), rotasi bulan mengitari bumi selama tiga puluh hari dalam satu bulan. Di lihat dari bentuk penampilan bulan dalam satu bulan, orang Jawa mengelompokkan tampilan bulan itu dalam tiga tahap, sepuluh hari pertama disebut wulan tumanggal, purnamasidhi, dan panglong atau pangreman. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu perlambang dalam kehidupan manusia, bahwa kehidupan ini semua selalu lahir dari kecil. Dalam perjalanan ruang dan waktu manusia berkembang menjadi besar, dan suatu saat mengalami puncak kesuksesan dalam hidupnya. Tetapi manusia yang sukses itu tidak akan selamanya dapat menikmatinya, karena usia manusia terbatas, jasmani manusia dapat rusak suatu saat harus kembali ke asal mulanya melalui jalan kematian.
3) Watak Bintang (Kartika)
Bintang menjadi simbol panutan dan keindahan. Orang Jawa sejak dulu telah mengenal ilmu falak atau astronomi, yaitu ilmu tentang posisi, gerak, struktur, dan perkembangan benda-benda di langit, serta sistem-sistemnya (Bagus, 2005: 91). Nenek moyang orang Jawa hidup sebagai pelaut, maka bintang menjadi petunjuk arah yang utama. Bintang-bintang yang dianggap sebagai petunjuk itu diberi nama-nama dalam bahasa Jawa sesuai dengan kelompok dan bentuk posisinya. Misalnya: lintang luku, yaitu kelompok bintang yang posisinya membentuk luku atau bajak; lintang gubug pèncèng, yakni kelompok bintang yang posisinya membentuk rumah reot; lintang jaka bèlèk, yaitu bintang yang cahayanya tidak terang bagaikan mata yang sedang sakit; lintang banyak angrem, ialah kelompok bintang yang posisinya seperti angsa sedang mengeram; lintang panjer rahina, yaitu bintang yang munculnya pagi hari di sebelah timur; lintang kemukus yaitu bintang berekor (commet) yang muncul pada saat-saat tertentu saja, bintang ini dipandang sebagai pertanda buruk; lintang Bhimasakti atau galaksi, yaitu kelompok bintang yang membentuk tubuh wayang Bhima, kakinya sedang digigit naga. Bintang ini apabila posisinya berada di tengah-tengah langit, menjadi pertanda waktu tengah malam. Gerak dan posisi semua bintang tersebut selalu diikuti oleh masyarakat Jawa tempo dulu, karena perjalanan bintang-bintang itu ada hubungannya dengan pergantian musim atau pranata mangsa. Maka bagi para nelayan yang akan melaut atau pun para petani yang akan bercocok tanam selalu mengikuti perjalanan bintang-bintang tersebut, agar mendapatkan hasil panen yang memuaskan.
Selain itu, orang Jawa juga mengenal horoskup. Nama-nama bintang digunakan sebagai lambang meramalkan watak orang dilihat dari hari kelahiranya. Hal ini dalam ngilmu Jawi disebut Palintangan. Watak orang dapat dibaca menurut bintangnya, adapun bintang itu dapat diketahui melalui hari dan pasaran kelahirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bintang merupakan simbol yang mecerminkan perwatakan atau sifat-sifat tiap-tiap manusia. Berbagai bintang di langit dipandang sebagai sejumlah perwatakan manusia di dunia yang selalu berbeda satu dan lainnya.
Orang Jawa juga telah mengenal astrologi, yaitu ilmu meramalkan sesuatu yang akan terjadi berdasarkan bintang-bintang. Astrologi ini dalam budaya Jawa lebih dikenal dengan istilah Pawukon, berasal dari kata Wuku. Pengetahuan ini diilkhami oleh mitos Jawa yang sangat populer yaitu mitos Watugunung. Konon Prabu Watugunung adalah raja Gilingwesi sangat sakti mandraguna, memiliki dua orang istri bernama Dewi Sinta dan Dewi Landhep, menurunkan anak sejumlah dua puluh tujuh orang semuanya laki-laki. Watugunung bersama keluarganya itu setelah gugur dalam peperangan melawan Dewa Wisnu, oleh Sang Hyang Pramesthi Guru diijinkan suksma mereka tinggal di surga. Suksma Watugunung dan keluarganya itu yang selanjutya disebut sebagai wuku.
4) Watak Awan (Himanda )
Awan dipandang sebagai lambang watak adil. Awan adalah uap air yang berasal dari tempat yang rendah seperti laut, sungai, rawa, dan lembah-lembah. Disebabkan oleh terik matahari, air menguap menjadi awan. Gumpalan-gumpalan awan itu dibawa oleh angin membubung ke angkasa. Di angkasa gumpalan-gumpalan awan itu menyatu dengan lainnya hingga mampu menutup angkasa yang terang menjadi gelap gulita. Akan tetapi ketika awan itu mencapai ketinggian tertentu dan suhu dingin tertentu, akan mencair dan menjadi air hujan yang akhirnya jatuh kembali ke bumi serta menyejukkan semua kehidupan di bumi. Oleh karena itu seorang pemimpin perlu memahami sifat-sifat awan, bahwa sesungguhnya tidak ada keberhasilan dalam kehidupan ini yang dicapai secara tiba-tiba. Setiap manusia perlu mengingat asal-usul dan riwayatnya, sehingga pada saat menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada dirinya akan mudah selalu introspeksi. Ketika ia menghadapi kesusahan tidak putus asa, dan ketika hidupnya sukses tidak lupa daratan. Sekarang banyak dijumpai figur-figur pemimpin yang senang mengumbar janji, pada hal janji itu hanyalah sekedar janji yang tidak pernah ada realisasinya. Ini merupakan salah satu gejala krisis moral, karena manusia didorong oleh kehendak yang tidak disertai ketajaman nuraninya. Manusia cenderung berpikir prakmatis, sehingga buta terhadap nilai-nilai filosofis. Dengan memahami sifat-sifat awan ini, paling tidak manusia akan memiliki watak bijaksana; jika menjadi seorang pemimpin bangsa akan berwatak adil paramarta, sebagaimana awan ketika menjadi air hujan menyirami bumi seisinya.
5) Watak Bumi
Bumi adalah tempat berpijak semua makhluk yang ada di atasnya, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan segala sumber kekayaan alam terkandung di dalamnya. Meskipun bumi ini diinjak-injak oleh manusia setiap hari, dicangkul para petani, bahkan digali, dikeduk, diambil hasil tambangnya, tetapi bumi tidak pernah mengeluh. Bumi selalu memberikan kebahagiaan kepada semua makhluk yang menempatinya. Contoh: para petani yang rajin mengolah tanah, bercocok tanam, mereka akan menuai buah atau hasil tanamannya yang berlipat ganda dari biji atau bibit yang ditanam. Para binatang mendapatkan makanannya berupa rumput, ubi-ubian, biji-bijian dan sebagainya berkat kesuburan bumi. Tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur dan berkembang biak karena kesuburan bumi, bahkan segala kebutuhan manusia dan makhluk-makhluk lainnya telah tersedia di bumi ini. Bumi menerima sinar matahari dan jatuhnya air hujan, mengakibatkan segala macam tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan subur, dan semua itu untuk memenuhi kebutuhan manusia dan semua makhluk yang membutuhkannya. Bumi tidak pernah meminta imbalan berupa apapun kepada manusia ataupun makhluk-makhluk lain yang memanfaatkan jasanya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia sebagai makhluk berpikir bebas berbuat apa saja asal terpenuhi kebutuhannya, dengan tanpa memperhitungkan kelestarian bumi. Perlunya memahami watak bumi tidak sekedar mentauladani secara simbolik, akan tetapi manusia perlu memahami watak-watak bumi ini agar dapat mengerti bagaimana mensikapi dan memperlakukan bumi ini agar selalu terjaga keseimbangan dan keserasian dalam hidup bersama secara tertib dan damai. Dengan demikian manusia akan terhindar dari terjadinya berbagai bencana di bumi yang merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri.
6) Watak Api (Dahana)
Api merupakan salah satu anasir alam yang memiliki daya panas. Energi api dapat digunakan untuk melebur apa saja, bergantung yang memanfaatkan. Jika api itu dimanfaatkan secara positif, akan membuahkan hasil yang positif pula. Misalnya, api digunakan untuk membakar besi hingga meleleh, besi itu dijadikan pisau, atau pun peralatan pertanian, berguna untuk mengolah tanah, bercocok tanam. Api digunakan untuk memasak bahan makanan, menghasilkan masakan yang menjadi sehat untuk dimakan. Api digunakan untuk melehkan logam mulia, menghasilkan perhiasan, dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, apabila api itu digunakan untuk hal-hal negatif, kemungkinan akan merusak dan merugikan kehidupan ini. Misalkan: api untuk membakar rumah, membakar hutan, membakar pasar, dan sebagainya, jelas hal itu berakibat merugikan bagi kehidupan masyarakat. Ini merupakan simbol semangat yang ada dalam diri manusia, semangat itu jika diarahkan kepada hal-hal yang positif niscaya akan membuahkan hasil yang maslahah bagi kehidupan. Sebaliknya jika semangat itu tidak dikendalikan, cenderung mengarah kepada hal-hal negatif, pasti akan merugikan bagi kehidupan, baik diri sendiri maupun orang lain. Api membara selalu dalam posisi tegak dan berpijar ke atas, ini merupakan simbol sifat tegas dalam menegakkan keadilan. Sebagai pemimpin hendaknya bersikap seperti bara api, selalu bersemangat, bersikap tegas dalam menegakkan keadilan. Tanpa pandang bulu, siapa saja yang menjadi penghalang dan perusuh negara harus ditumpas, yang berbuat salah harus dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. sebaliknya bagi siapa saja yang patuh kepada peraturan negara harus diayomi.
7) Watak Air (Banyu)
Air adalah anasir alam yang selalu menjadi sarana kehidupan. Di mana-mana ada air di situlah ada kehidupan. Meskipun demikian air tidak selalu memiliki sifat ramah, suatu ketika juga menunjukkan sifat kejam. Air di laut menghidupi segala macam isi lautan, dari makhluk hidup yang paling kecil sampai yang paling besar hidup karena air. Manusia dan segala macam binatang di daratan, serta tumbuh-tumbuhan yang menancap di muka bumi, semuanya membutuhkan air. Begitu pula tumbuh-tumbuhan yang ada di atas bukit, di pucuk gunung hidup karena air. Akan tetapi suatu ketika air juga dapat membahayakan; air laut meluap menimbulkan tsunami. Ketika manusia memperlakukan air secara proporsional, mungkin tidak akan terjadi hal-hal yang membahayakan. Akan tetapi ketika manusia memperlakukan lingkungan tidak sesuai dengan aturan atau norma ekosistem yang berlaku, kemungkinan akan berakibat fatal. Perubahan sifat-sifat hakiki air itu sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Tetapi pada hakikatnya air bersifat rata, di mana ada tempat rendah selalu terisi oleh air sesuai dengan luas dan kedalamannya. Seorang pemimpin hendaknya dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya secara adil, pegertian adil dalam hal ini adalah proporsional, sesuai dengan kemampuan, kedudukan, dan beban kebutuhan yang harus disandang oleh rakyatnya.
Begitulah pemahaman tentang sifat air yang dimaksud dalam Hastha Brata yang diungkapkan melalui wejangan Kesawasidhi terhadap Arjuna. Air menjadi sumber penghidupan. Yang dimaksud penghidupan dalam hal ini tidak hanya bagi makhluk manusia, tetapi mencakup segala makhluk termasuk binatang dan tumbuhan. Jadi seorang pemimpin harus dapat memberi penghidupan kepada siapa saja yang mempunyai hak untuk dihidupi (Nartasabda, Kusuma Rec. : 8A).
 8) Watak Angin (Samirana)
Angin adalah anasir alam yang selalu menelusuri berbagai ruang dan waktu, yang sempit, yang luas, yang tinggi, yang rendah, di puncak gunung, di dasar lautan, baik di waktu siang maupun malam, semuanya dilalui oleh angin. Hal ini sesuai dengan pandangan Jawa bahwa pemimpin harus dapat manjing ajur-ajèr, artinya harus bersifat “luwes” atau fleksible dalam bergaul atau srawung di dalam masyarakat. Seorang pemimpin harus dapat menyelami segala keadaan lingkungan di sekitarnya, cara memperhatikan rakyatnya tidak membeda-bedakan derajat, pangkat dan golongan, serta tempat tinggal, semuanya dapat merasakan pancaran kasih sayang pemimpinnya. Selain itu seorang pemimpin harus bersikap empan-papan, artinya selalu dapat menyesuaikan diri dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi. Ketika menjalankan kedinasan seorang pemimpin harus bersikap disiplin sesuai dengan kewajiban kedinasan. Ketika di rumah, seorang pemimpin harus menjadi pengayom keluarga dan suritauladan masyarakat sekitarnya sebagai seorang penduduk masyarakat yang baik, jangan sampai terjadi urusan kedinasan dibawa-bawa ke keluarga ataupun masyarakat. Dalam pandangan Jawa dikatakan mbédakaké pribadi lan makarti.
Sebagaimana disampaikan Nartasabda dalam wejangan Hastha Brata terakhir, bahwa angin sebagai tauladan seorang pemimpin harus berwatak supel dalam bergaul. Oleh karena rakyat yang dipimpin itu terdiri dari bermacam-macam golongan atau kasta, ada yang kasta Brahmana, Kasta Waisya, dan kasta Sudra, yang semuanya telah berada dalam golongannya masing-masing, para para pemimpin harus mampu menyelami mereka dengan sikap yang menyenangkan (karya nak tyasing sesama). Para Brahmana akan tenang bersemadi jika merasa tentram hatinya, para waisya akan tekun bekerja jika dilindungi ketentraman, begitu pula para sudra akan senang hatinya jika merasa tenteram hidupnya (Kusuma Rec.: 8A).
D. Kesimpulan
Kehidupan manusia dengan keberadaan dunia semesta ini kenyataannya tidak dapat dipisah-pisahkan atau pun terlalu dibedakan, karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Hubungan antara manusia dan dunia ini didasarkan atas beberapa keyataan dalam bentuk kesatuan. Pertama adalah kesatuan objektif. Manusia tidak hanya merupakan bagian dari dunia semata. Pribadi manusia hanya dalam hubunganya dengan manusia lain dan dunia pada umumnya; sebaliknya dunia hanya didapatkan dalam hubunganya dengan manusia. Refleksi kongkrit dan menyeluruh atas individu manusia juga merupakan refleksi atas dunia; demikian pula sebaliknya. Maka sangat jelas bahwa dunia tidak mungkin dipahami tanpa adanya manusia, demikian juga manusia tidak mungkin tanpa dunia. Manusia dan dunia saling mengandung dan saling berimplikasi. Kedua adalah kesatuan formal. Refleksi manusia atas pribadinya bersama-sama dunia merupakan jalan yang mungkin satu-satunya. Hanya manusialah yang bertanya mengenai dunia, juga manusia saja yang benar-benar memiliki suatu proyek tentang dunia. Dengan demikian berarti hanya manusialah yang mempunyai hubungan dengan dunia secara sadar. Hanya di dalam diri dan melalui manusia sendiri dunia dapat disentuh secara formal sesuai hakikatnya, atau menurut mengadanya. Seumpama tidak berawal pada pengalaman manusia tentang dunia sendiri, maka filsafat membuat anomali yang tanpa dasar. Tanpa pengalaman sadar itu, dunia hanya didekati dari luar, tidak ada korelasi yang dekat, dan hanya akan menghasilkan pengetahuan yang berciri empiris semata. Jadi hanyalah refleksi atas otonomi-dalam-korelasi melalui manusia dapat memberikan pandangan tentang dunia secara hakiki.
DAFTAR ACUAN
Pustaka
Adrongi, Kosmologi/Filsafat Alam Semesta. Kebumen: CV. Bintang Pelajar,
1986.
Bakker, Anton, Kosmologi & Ekologi Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Ciptopawiro, Abdullah , Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Hardiyanti Rukmana, Butir-Butir Budaya Jawa Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatinig Becik. Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1990.
Hariwijaya, 2.500 Kata Bijak dari Jawa. Jakarta: Setia Kawan, 2005.
Harsaja, Siswa, Pakem Makutarama. Jogjakarta: Pesat, 1954.
Hazim, Amir, Nilai-Nilai Etis Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997.
Hudoyo, Suryo, Serat Bagawadgita. Surabaya: Djojo Bojo, 1990.
Jasadipura, R.Ng., ”Serat Rama”. Babon Saking Koninklik Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, t.th.
Kats, J., Wayang Purwa. Dordrecht-Holland/Cinnaminson USA: Foris Publication. Translasi K. R. T. Kartaningrat, 1984.
Kattsoff, Louis O., Elements of Philosophy. Terjemahan Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984.
Leahy, Louis Sj., Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, BMK.
Gunung Mulia, 1993.
Moedjiono, Imam, Kepemimpinan dan Keorganisasian. Yogyakarta: UII Press.
Padmasoekatja, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita, Jilid II. Surabaya: Citra Jaya Murti, 1992.
Pendit, S., Nyoman, Mahabharata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
_______________, Ramayana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Poerwadarminta, W.J.S., Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uttgevers-Maatschappu n.v., 1939.
Poespaningrat, Pramoedjoe, R.M. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT. BP. Kedaulatan Rakyat, 2005.
Prawiraatmadja, Ngungak Isining Serat Astha Brata. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan Kem. P.P. dan K., 1958.
Rachels, James, Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Scheler, Max, Nilai Etika Aksiologis, terjemahan Paulus Wahana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Sastra Amidjaja, Sena, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.
Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002.
Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik. Surakarta: STSI Press,
2005.
Susetya, Wawan., Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2007.
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Warna, I Wayan, “Kakawin Ramayana I, II”. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I, 1987.
Wignjasoetarna, Lampahan Makutarama Pedalangan Ringgit Purwa Wacucal.
Surakarta: Yayasan P.D.M.N., 1972.
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jogyakarta: Kanisius,1990.
Audio
Nartasabda, Wahyu Sri Makutharama. Klaten: Kusuma Record, tth.