Sabtu, 03 Desember 2011

IMPLEMENTASI PESAN MORAL DAN BUDAYA UNTUK ANAK USIA DINI MELALUI PRODUK KREATIF PENTAS WAYANG PURWA

A. Pendahuluan
Makalah ini merupakan perasan dari penelitian Hibah Kompetensi yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat perjanjian Pelakanaan Hibah Kompetisi Nomor: 221/SP2H/PP/DP2M/V/2008, tanggal 30 Mei 2009, yang penulis lakukan di wilayah Solo Raya; khususnya mengenai produk kreatif pentas wayang untuk anak usia sekolah SD dan SMP. Di dalam kerangka mewujudkan semboyan Solo spirit of Java, event-event budaya dan kegiatan produktif kreatif yang mengandung nilai-nilai keunikan itu perlu dipadukan sebagai bagian yang utuh dari pencitraan (branding) Solo Raya. Keragaman budaya lokal di Solo Raya layak mendapat perhatian untuk dikembangkan agar menghasilkan karya yang inovatif sehingga dapat mencerminkan keunggulan bangsa sekaligus berdampak pada pengokohan budaya lokal.
Pertunjukan wayang, terutama wayang kulit purwa, merupakan salah satu karya budaya Bangsa Indonesia khususnya nenek moyang orang Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan, baik religi, filsafat, pendidikan (budi pekerti), dan sebagainya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila UNESCO memproklamirkan, bahwa wayang merupakan salah satu karya agung warisan budaya dunia non-benda (a masterpiece of oral and intangible heritage of humanity) yang perlu dilestarikan.
Pengertian non-benda dalam konteks ini adalah hal-hal yang tidak dapat diraba, yaitu tentang kandungan nilai dalam seni wayang yang luar biasa dan dihargai oleh dunia itu. Ini bukanlah semata-mata sanjungan belaka untuk membanggakan diri. Akan tetapi, itu merupakan cambuk bagi bangsa Indonesia untuk introspeksi dan melihat ke depan apa yang harus diperbuat, agar nilai-nilai yang terkandung dalam seni wayang itu menjadi lebih berarti bagi kehidupan manusia.
Ditinjau dari aspek pertunjukannya, wayang Jawa terdiri dari beberapa macam; di antaranya adalah Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Madya, dan Wayang Wasana. Wayang purwa pada umumnya menggelarkan lakon yang bersumber pada siklus ceritera Ramayana dan Mahabharata; Wayang Gedhog bersumber pada siklus ceritera Panji; Wayang Madya besumber pada siklus ceritera Madya, yaitu ceritera mengenai tokoh-tokoh keturunan Pandawa setelah raja Parikesit pada akhir zaman kerajaan Hastina. Wayang Wasana adalah pertunjukan wayang yang mengambil ceritera dari kisah-kisah kerakyatan dan sejarah; pertunjukannya berupa wayang suluh, wayang kancil, wayang Pancasila, wayang perjuangan, dan sebaginya. Adapun yang dimaksud wayang dalam penelitian ini adalah pertunjukan wayang kulit yang juga lazim disebut Wayang Purwa.
B. Pesan Moral dan Budaya dalam Wayang
Sebagaimana dinyatakan oleh Susilo (2000: 74) bahwa, wayang secara tradisional adalah intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang merupakan warisan turun-tumurun, dan secara konvensional telah diakui bahwa ceritera dan karakter tokoh-tokoh wayang itu merupakan cerminan inti dan tujuan hidup manusia. Penggambarannya sedemikian halus, penuh dengan simbol-simbol (pralambang dan pasemon) sehingga tidak setiap orang dapat menangkap pesan atau nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kehalusan wayang merupakan kehalusan yang sarat dengan misteri. Hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan batin tertentu saja yang mampu menangkap inti sari dari pertunjukan wayang.
Wayang pada hakikatnya adalah simbol dari kehidupan manusia yang bersifat kerokhanian. Sebagai kesenian klasik tradisional, wayang mengandung suatu ajaran yang bersinggungan dengan hakikat manusia secara mendasar. Di antaranya ialah ajaran moral yang mencakup moral pribadi, moral sosial, dan moral raligius (Nugroho, 2005: 11). Pertunjukan wayang menggelarkan secara luas mengenai hakikat kehidupan manusia dan segala di sekitarnya serta rahasia hidup beserta kehidupan manusia. Melalui pertunjukan wayang manusia diseyogyakan merenungkan hidup dan kehidupan ini utamanya mengenai kehidupan pribadi yang berhubungan dengan sangkan paraning dumadi dan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi kehidupan di dunia yang tidak lama ini.
Anderson (1996) berpendapat bahwa, wayang sebagaimana “sistem” etika dan metafisika yang lain, mempunyai pretensi untuk membeberkan pengertian tentang alam semesta.
Kendatipun sebagian ceritera berdasarkan epos Ramayana dan Mahabharata dari India, tetapi mitologi wayang Jawa merupakan upaya dalam kerangka menyelidiki posisi eksistensial orang Jawa secara puitis, korelasinya dengan tatanan alam kodrati dan adikodrati, dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri. Sebagaimana diutarakan oleh Rajagopalachari (dalam Murtanto, 2009: 9) bahwa mitologi merupakan bagian integral dari “agama”. Mitologi adalah bagian mendasar bagi suatu agama dan kebudayaan nasioal, sebagai kulit dan kerangka yang melestarikan sari dan cita rasa susatu agama dan bangsa. Pengertian bentuk sama mendasarnya dengan isi. Orang tidak dapat memeras agama dan menyarikan isinya dalam dirinya sendiri. Jika itu terjadi, maka agama tidak akan berguna dan tidak akan bertahan lama. Setiap kebudayaan besar membutuhkan mitologi dan tokoh-tokoh suci sebagai fondasi spiritual yang stabil, serta sebagai inspirasi dan pembimbing guna memberi pencerahan bagi kehidupan.
Bagi orang-orang di zaman moderen yang beranggapan dirinya sebagai manusia serba ilmiah dan serba rasional, tentu saja memandang wayang sebagai suatu yang tidak rasional dan tidak masuk akal, karena wayang hanyalah dongeng, khayalan dan mitos belaka. Memang mitos dalam dunia pewayangan merupakan simbol-simbol yang mampu memukau dan membangunkan daya irrasional, serta menggetarkan jiwa manusia. Jika diamati secara cermat dan dihayati dengan sungguh-sungguh, pertunjukan wayang mengandung kajian filsafati sekaligus mistik. Istilah mistik dalam hal ini tidak identik dengan klenik dan takhayul sebagaimana kebanyakan orang memberi pengertian. Akan tetapi mistik yang berasal dari kata Yunani mistikos, yang berarti “misteri” atau “rahasia”. Jadi yang dimaksud mistik dalam hal ini adalah hal-hal rahasia yang berkait dengan keyakinan, bahwa dalam kehidupan ini manusia dapat mengalami kesatuan transendental dengan yang Maha Kuasa, dengan melalui meditasi (Susilo, 2000: 74-75).
Pendapat Sarsita yang dikutib oleh Sena Sastra Amidjaja. (1964) menyatakan bahwa, setiap pertunjukan wayang kulit pada dasarnya merupakan lambang perjuangan batin, dalam berkompetisi, antara prinsip baik dan prinsip buruk di dalam kehidupan manusia pada umumnya, atau dengan istilah lain antara mistik dan magi. Pertujukan wayang kulit terdiri dari berbagai adegan yang saling berhubungan erat antara satu dengan lainnya. Masing-masing adegan melambangkan fase tertentu dari kehidupan manusia, dan keberadaan fase-fase itu bersifat abadi. Akan tetapi dengan sengaja ataupun tidak hal itu selalu diselubungi dengan kabut mistik, agama, buah fantasi penciptanya, yang kemungkinan sangat tebal keberadaannya. Apabila dianalisis secara seksama perbandingan itu akan nampak nyata. Oleh karena itu hampir senantiasa kembali dapat ditemukan unsur-unsur secara terurai yang membentuk susunan ketasawufan sepanjang waktu itu.
Penulis pada dasarnya setuju dengan pendapat-pendapat tersebut di depan, akan tetapi ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan makna pertunjukan wayang. Sebagai seni pertunjukan, wayang tidak dapat lepas dari hakikat pertunjukan itu sendiri, di antaranya selain mengandung aspek filsafati yang berupa nilai-nlai ajaran hidup, juga terdapat kesan-kesan hiburan semata. Hal ini lazim disebut oleh masyarakat Jawa bahwa, wayang selain sebagai tontonan juga menjadi tuntunan. Sejauh mana orang memberikan makna terhadap pertunjukan wayang itu sesungguhnya bergantung pada pemahaman dan kepentingan tiap-tiap individu terhadap wayang itu.
Keindahan dalam seni pertunjukan wayang meliputi seluruh kandungan nilai yang tersirat di dalamnya. Maka pengertian indah dalam pertunjukan wayang mempunyai lingkup pengertian sangat luas. Indah tidak berarti hanya tampilan tokoh wayang yang bagus, halus, rumit, berwarna-warni; atau suara gamelan yang mengalun disertai nyanyian swarawati yang merdu saja, tetapi hal yang lebih penting dari pada itu adalah pesan-pesan yang disampaikan oleh dalang dalam bentuk sajian secara utuh, baik ungkapan tentang kebenaran, kejahatan, kegembiraan, maupun kesusahan, yang mampu menyentuh hati para penonton atau penggemarnya. Itulah yang dimaksud keindahan dalam seni pertunjukan.
Sebagaimana konsep estetika pedalangan menurut Najawirangka (1960: 1: 57) seorang guru dalang di keraton Surakarta pada masa itu, bahwa keindahan dalam seni pertunjukan wayang itu ditentukan oleh penguasaan pengetahuan (kawruh) yang dikemas dalam sepuluh istilah sebagai berikut: (1) Regu, artinya pada waktu sore tampak berwiba; (2) Greget, artinya pada saat suasana marah berkesan sunguh-sungguh; (3) Sem, maksudnya romantis; (4) Nges, pada adegan sedih dapat menyentuh hati penonton; (5) Renggep, artinya selalu semangat; (6) Antawacana, artinya wacana dalang sesuai dengan suasana atau karakter wayang yang ditampilkan; (7) Cucut, artinya lucu atau jenaka, mampu membuat penonton tertawa segar; (8) Unggah-ungguh, artinya dalang menguasai kaidah-kaidah tata krama pakeliran misalnya: penerapan tata bahasa, silsilah, tanceban wayang, dan sebagainya; (9) Tutuk, artinya dalang memiliki artikulasi wacana jelas; (10) Trampil, artinya trampil dalam memainkan wayang, menggubah ceritera, menyingkat, mengulur, menguasai berbagai unsur garap pakeliran, dan pengethuan lain-lain yang berhubungan dengan keperluan mendalang.
Sebagaimana telah dinyatakan oleh UNESCO (2004), bahwa wayang merupakan salah satu karya agung warisan budaya dunia non benda, secara sosiokultural telah melekat dalam keyakinan masyarakatnya. Jenis wayang yang berkembang di daerah Surakarta cukup beragam, akan tetapi pengembangan bentuk kekaryaan pentas yang secara khusus dikemas untuk pembelajaran anak-anak usia sekolah dasar dan menengah belum ada data konkret yang tertata. Meskipun sering diselenggarakan festival dalang anak-anak sewilayah Solo Raya, sebagaimana yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Surakarta (TBS), akan tetapi belum tersedia bentuk naskah pedalangan yang memang dikemas untuk keperluan pentas anak-anak sekolah. Demikian pula boneka wayang yang disediakan oleh pengrajin wayang, hingga sekarang belum ada pengrajin yang membuat wayang yang khusus untuk keperluan pentas khusus bagi anak-anak seusia sekolah, kekaryaan mereka pada umumnya masih tidak beranjak dari konvensi yang ada dan bergantung pada pesanan para pelanggannya saja belum ada pemberdayaan secara optimal.
Oleh karena itu para pengrajin yang berpotensi itu tidak pernah menghadapi tantangan untuk mengembangkan kreatifitasnya. Demikian pula seniman dalang sebagai pelaku pertunjukan wayang kulit, secara kuantitas cukup banyak dan berpotensi, tetapi belum diberdayakan secara optimal dalam kerangka pengembangan karya wisata seni dan peningkatan ekonomi kreatif. Berpijak dari fenomena itu, potensi budaya tradisi wayang, baik dalam bentuk tradisi maupun non tradisi perlu dikembangkan sebagai model pengembangan industri kreatif dalam bentuk seni pentas wayang berbasis anak sekolah. Hal ini penting dilakukan dalam rangka menghadapi tantangan ekonomi kreatif serta menjaga kekokohan budaya lokal khususnya keberlangsungan seni pentas wayang kulit.
Kemajuan peradapan masyarakat yang berpacu dengan perkembangan budaya tehnologi dan tuntutan ekonomi kreatif, perlu disikapi secara dini dengan mengelola perkembangan usia anak di masa-masa awal pertumbuhan intelegensinya. Derasnya pengaruh budaya global tidak perlu lagi menjadi alasan tergesernya kebudayaan lokal, karena sumua itu bergantung pada usaha dan kemampuan kita untuk mengelola. Perhatian dari berbagai pihak menjadi sangat penting dalam hal ini, terutama pihak-pihak yang berkompeten dalam pemerintahan. Semua ragam dan jenis seni budaya yang ada di negeri ini adalah milik bangsa Indonesia, sudah barang tentu kita yang harus memperhatikan, mencintai dan memeliharanya. Moto ataupun semboyan tentang pelestarian budaya tidaklah cukup diucapkan oleh para pejabat tinggi ketika memberi sambutan dalam suatu kongres budaya ataupun para seniman ketika berdemonstrasi, yang lebih penting perlu adanya langkah-langkah riel yang harus dilakukan.
Anak adalah calon generasi penerus yang merupakan aset utama dalam pelestarian dan pengembangan budaya bangsa ini. Daya pikir anak ibarat kertas putih yang belum ada tulisannya, kelak anak-anak kita akan menjadi apa saja sesungguhnya salah satu aspek yang menentukan adalah cara kita mendidik sejak awal. Anak-anak usia sekolah SD/SMP adalah usia dini yang kemungkinan besar relatif mudah dididik dan diarahkan kepada suatu objek yang dipandang menarik. Anak-anak seusia ini belum banyak mengenal apa yang ada di sekitarnya. Mereka akan mudah tertarik pada sesuatu yang dirasa lebih dekat dengan dunia mereka, baik bentuk, karakter maupun nilai yang dikandung oleh suatu objek tertentu.
Wayang kulit purwa merupakan produk kreatifitas seni yang mengandung nilai estetika dan etika sangat tinggi, pada umumnya pertunjukan wayang bukan untuk konsumsi dunia anak melainkan untuk orang dewasa. Akan tetapi wayang purwa juga mengandung nilai-nilai yang dipandang penting untuk membangun pertumbuhan kepribadian anak, karena di dalam pewayangan itu banyak simbol-simbol ketauladanan yang mencerminkan nilai-nilai yang maslahat bagi kehidupan. Nilai-nilai inilah yang perlu dilestarikan dan dikenalkan sejak dini kepada anak-anak kita, dalam rangka membentuk kepribadinnya sebagai bangsa timur. Yang perlu menjadi pemikiran adalah bagaimana anak-anak kita mencintai seni pertunjukan wayang dan menyadari spenuh hati betapa pentingnya nilai-nilai dalam dunia pewayangan itu, serta mau menjadi pelaku tanpa ada paksaan dan pemerkosaan hak anak. Akhir-akhir ini banyak bermunculan dalang-dalang cilik yang dilombakan dengan menyajikan lakon-lakon yang tidak proporsional bagi dunia mereka, misalnya anak seusia sekolah SD menyajikan pakeliran padat lakon Ciptaning, Kangsa Lena, Anoman Duta, dan sebagainya, pada hal naskah-naskah itu garapan mahasiswa S1. Dengan demikian sangat jelas bahwa gagasan yang diungkapkan dalam karya-karya itu bukanlah produk yang berbasis anak.
C. Perlunya Model Kemasan Pertunjukan Wayang Berbasis Anak
Mengacu pada fenomena masyarakat dewasa ini, dipandang perlu adanya suatu model kemasan pertunjukan wayang berbasis anak yang juga akan menarik bagi dunia wisata anak. Kemasan itu akan memuat aspek-aspek garab yang mencakup: bentuk boneka wayang, cerita, dan bentuk pertunjukannya, yang khusus dikemas untuk keperluan pementasan seni wayang untuk anak-anak usia sekolah SD dan/atau SMP; dengan tidak merubah ataupun menghilangkan ciri khas wujud dan karakter wayang tradisional. Hal ini menjadi pertimbangan penting, karena seni wayang secara visual memiliki konvensi budaya yang sangat kuat di mata masyarakat (Jawa khususnya). Oleh karena itu pengenalan wayang bagi anak-anak merupakan pengantar mendasar untuk memahami tokoh-tokoh wayang secara dini, sehingga anak-anak itu semakin dewasa pemahaman terhadap tokoh-tokoh wayang itu semakin mendarah daging.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan mengembangkan seni pertunjukan wayang kulit melalui pemberdayaan seniman dalang dan kriyawan wayang, serta anak-anak di sekolah dasar dan menengah, dalam kerangka pengokohan budaya wayang kulit, dan pembangunan kepribadian generasi penerus, serta peningkatan industri kreatif di wilayah Solo Raya. Untuk mencapai terget tersebut perlu kegiatan dalam waktu tiga tahun dibagi dalam 3 tahap yakni.
Pada tahap I kegiatan diarahkan pada identifikasi bentuk pertunjukan wayang kulit di wilayah Solo Raya. Kajian dilakukan dengan pendekatan eksploratif, wayang yang ada di wilayah Solo Raya sebagai objek penelitian akan diidentifikasi gaya maupun bentuk penyajiannya. Keunikan visual atau gaya wayang pada dasarnya juga terwujud karena efek dari bahan, bentuk, dan konstruksi, serta naskah lakonnya. Berdasarkan konsep tersebut maka wayang perlu dibahas untuk dirumuskan karakteristiknya.
Secara struktur wayang diidentifikasi selanjutnya akan dianalisis untuk ditemukan karakteristik yang dapat dikembangkan sebagai sumber ide pengembangan bentuk sajian berbasis anak, baik dari sisi seni rupa maupun dari seni pertunjukannya dalam upaya mendukung penanaman pesan moral pendidikan moral anak-anak usia sekolah khususnya di wilayah Solo Raya. Untuk mendukung rumusan model tersebut kajian diarahkan pula pada pendalaman pribadi anak secara biologis yang akan ditemukan karakteristik anak terkait dengan selera dan keinginan anak pada dunia hiburan dan seni. Anak merupakan calon pengguna maupun sebagai calon pelaku. Memahami informasi pengguna maupun pelaku seni penting dilakukan, dalam rangka memahami perilaku pengguna maupun pelaku seni.
Pendekatan fenomenologi memandang perilaku manusia, apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan adalah sebagai suatu produk dari bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka sendiri (Feldman, 1967). Dengan demikian pada penelitian ini pendekatan fenomenologis dipinjam untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya untuk menemukan karakteristik gaya hidup secara umum. Meminjam teori kepribadian dalam ilmu psikhologi yang menyatakan, bahwa untuk memahami kepribadian berarti mengenal manusia dihubungkan dengan situasi lingkungannya yang merupakan pengalaman konkrit, dari aspek yang umum sebagai manusia dan ciri-cirinya yang khas dan unik. Model yang baik adalah model atau desain yang dapat menjawab esteem needs, social needs, security needs, dan physiological needs, maka desain harus memperhatikan faktor biologi manusia. Hasil temuan tentang karakteristik anak akan menjadi informasi penting untuk perumusan media dan naskah pentas wayang kulit berbasis anak.
Kegiatan tahap II, diarahkan pada uji coba hasil rumusan model pentas wayang kulit berbasis anak. Uji coba dalam perwujudan media wayang, naskah, dan pementasan di beberapa pelaku seni pertunjukan wayang dan pengrajin benda kria atau desainer. Dengan strategi pemahaman teoritis dan drill pengrajin dilatih untuk membuat wayang kulit untuk anak; anak diajak dan dilatih menjadi dalang dan diajak mengikuti festival pentas wayang kulit purwa di Solo Raya; Mengingat kegiatan ini lebih ditekankan pada kegiatan uji coba model maka hasil kegiatan akan dianalisis untuk dievaluasi. Hasilnya akan dilakukan penyempurnaan desain dan utamanya pada strategi-strategi yang penting dipahami oleh pelaku seni wayang dan dapat diterima masyarakat. Penyempurnaan ini akan dikemas dalam sebuah buku panduan pengembangan wayang berbasis anak yang di dalamnya memuat strategi model pengembangan, contoh bentuk media, dan contoh naskah.
Tahap III, adalah tahap penghiliran hasil secara umum kepada masyarakat. Hasil temuan akan disosialisasikan melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan di masyarakat secara luas, khususnya di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah serta Sanggar seni. Melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan diharapkan minat anak terhadap seni wayang kulit berbasis anak semakin meningkat, tanpa disadari memberikan dampak pada perilaku anak karena pesan moral yang terkandung dalam wayang kulit berbasis anak. Pihak sekolah atau Dinas Pendidikan dapat menangkap posistif hasil tersebut selanjutnya dapat mempertimbangkan dalam penyusunan kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah.
D. Lakon Pakeliran Dalang Bocah yang pernah disajikan
Berikut ini adalah sejumlah repertoar lakon pakeliran yang disajikan oleh 41 dalang cilik peserta Temu Dalang Cilik Nusantara III 2009 di Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta pada tanggal 15–20 Juli 2009.
1. Pethilan adegan gara-gara dan perang samberan Gathutkaca (tanpa lakon), oleh GRM. Suryo Aryo Mustiko (Kota Surakarta).
2. Lakon “Nggeguru (Déwaruci),” oleh Rakha Alfirdaus Hikmatyar (Kabupaten Sukoharjo).
3. Lakon “Gathutkaca Jèdhi,” oleh Cendekia Ishmatuka Srihascaryasmoro (Kota Surakarta).
4. Lakon “Kangsa Léna,” oleh Pandu Condro Wicaksono (Kabupaten Grobogan).
5. Lakon “Babad Wanamarta,” oleh Pulung Wicaksana Nugraha (Kabupaten Klaten).
6. Lakon “Déwaruci,” oleh Hanang Sinardoyo (Kabupaten Klaten).
7. Pethilan adegan paséban jawi sampai dengan budhalan (tanpa lakon), oleh Pandam Aji Anggoro Putro (Kabupaten Wonogiri).
8. Lakon “Brajadenta mBaléla,” oleh Bian Diva Nurisa (Kota Surakarta).
9. Lakon “Adon-adon Rajamala,” oleh Canggih Tri Atmojo Krisno (Kabupaten Karanganyar).
10. Lakon “Wirathaparwa,” oleh Magistra Yoga Utama (Kabupaten Karanganyar).
11. Lakon “Si Jabang Tetuka,” oleh Wisnu Septiawan (Kabupaten Wonogiri).
12. Lakon “Anoman Duta,” oleh Arko Kilat Kusumaningrat (Kota Surakarta).
13. Lakon “Guwarsa–Guwarsi,” oleh Rizky Fauzyah (Kota Surakarta).
14. Lakon “Déwaruci,” oleh Guntur Gagat Tri Putranto (Kabupaten Sragen).
15. Lakon “Gathutkaca Lair,” oleh Gadhing Panjalu Wijanarko Putro (Kabupaten Sragen).
16. Lakon “Déwaruci,” oleh Bagas Priambodo (Kabupaten Pati).
17. Lakon “Babad Wanamarta,” oleh Wisnu Prilaksono (Kabupaten Pati).
18. Lakon “Kresna Duta,” oleh Adam Gifari (Kabupaten Boyolali).
19. Lakon “Palguna–Palgunadi,” oleh Pandu Gandang Sasongko (Kabupaten Sragen).
20. Lakon “Bima Bothok,” oleh Bayu Praba Prasapa Aji (Kabupaten Sleman).
21. Pethilan adegan gara-gara dan perang samberan Gathutkaca (tanpa lakon), oleh Rafael Wicaksono Hadi (Kota Surakarta).
22. Pethilan perang gagal (tanpa lakon), oleh Fakih Trisera Filardi (Kota Bekasi Barat).
23. Lakon “Banjaran Sari,” oleh Danan Wisnu Pratama (Kota Jakarta Selatan).
24. Lakon “Bima Ngaji (Déwaruci),” oleh Amar Pradhopo Zedha Beviantyo (Kabupaten Sukoharjo).
25. Lakon “Ontran-ontran Mandura,” oleh Yusstanza Razali (Kota Jakarta Selatan).
26. Lakon “Déwa Amral,” oleh Dwi Adi Nugroho (Kota Jakarta Selatan).
27. Lakon “Gandamana Tundhung,” oleh Bimo Sinung Widagdo (Kota Jakarta Barat).
28. Lakon “Bambang Sukskadi (Dadiné Pétruk Garèng),” oleh Galih Wahyu Sejati (Kabupaten Wonosobo).
29. Lakon “Wasi Jaladara,” oleh Dyo Maulana Akhirwan (Kota Jakarta).
30. Lakon “Wirathaparwa,” oleh Pramel Bagaskoro (Kota Jakarta Selatan).
31. Lakon “Babad Wisamarta,” oleh Anggit Laras Prabowo (Kabupaten Karanganyar).
32. Lakon “Rama Tambak,” oleh Anindita Nur Bagaskara (Kabupaten Wonosobo).
33. Lakon “Déwaruci,” oleh Handika Krisna Majid (Kabupaten Wonosobo).
34. Lakon “Ampak-ampak Astina (Gandamana Tundhung),” oleh Mahendra Wisnu Pradana (Kabupaten Wonosobo).
35. Pethilan perang gagal (tanpa lakon), oleh Abimanyu (Kota Bekasi Utara).
36. Pethilan adegan paséban jawi sampai dengan budhalan (tanpa lakon), oleh Sulthan Dzaky Trisnaji (Kabupaten Cilacap).
37. Lakon “Anoman Kridha,” oleh Ali Yudhistira (Kota Bekasi).
38. Lakon “Arimbaka Léna,” oleh Bima Aris Purwandaka (Kabupaten Bantul).
39. Lakon “Rama Tambak,” oleh Sihhono Wisnu Purwolaksito (Kabupaten Mojokerto).
40. Lakon “Aji Narantaka,” oleh Sindhunata Gesit Widiharto (Kota Semarang).
41. Lakon “Caru Mangan Caru,” oleh I Wayan Dian Anindya Bhaswara (Kabupaten Gianyar).
Dari 41 dalang cilik tersebut, hanya 6 anak yang menyajikan fragmen (pethilan) tanpa terbingkai oleh lakon tertentu; sedangkan 35 anak menyajikan repertoar lakon wayang kulit purwa yang menurut pengamatan peneliti bukan garapan standar untuk dunia anak. Lakon-lakon tersebut merupakan garap padat yang dikemas untuk ukuran dalang dewasa dan yang telah terampil, sehingga kesan-kesan yang memberikan pengalaman wisata budaya bagi anak tidak tercermin dalam pertunjukan tersebut.
E. Konsep Garap Wayang berbasis Anak Usia SD/SMP.
1. Bentuk pertunjukan wayang untuk anak usia sekolah SD/SMP ini masih mengacu pada nilai-nilai tradisi yang ada, serta ditekankan pada nilai-nilai rokhani yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Khusus untuk anak perlu ada penekanan nilai yang mendasar untuk pendewasaan anak yang diharapkan masih berakar pada budayanya. Diharapkan pada pengungkapnan nilai tersebut, berisi tentang budi pekerti dan kaedah-kaedah budaya jawa yang disesuaikan dengan tingkatan pendewasaan anak mengenai kepekaan rasanya. Hal ini dikandung maksud mengenalkan kembali tentang etika dan estetika Jawa.
2. Untuk mengungkapkan nilai-nilai tersebut, perlu dicari garapan-garapan unsur yang ada seperti, Lakon, sabet, karawitan, bahasa dan boneka wayang serta perlengkapan lain pendukunnya. Misalnya :
a. Garapan lakon. Berhubung cerita Mahabarata dan Ramayana masih sangat dikenal dan kadang masih menjadi pandangan hidup kelompok tertentu, masih relevan kita gunakan. Hanya pada bagian-bagian tertentu perlu adanya sanggit-sanggit baru yang lebih berhasil.
b. Garapan bahasa, diharapkan yang komunikatif. Hal ini dapat ditempuh dengan explorasi perbendaharaan, baik bahasa jawa maupun bahasa Indonesia, dengan mempertimbangkan bahasa yang sederhana dan puitis serta mudah ditangkap dan dimengerti secara sentuhan rasa. Pada garapan ini diusahakan penggunaan bahasa yang singkat dan padat, yang penting nilai yang terkandung tepat sasaran.
c. Garapan Sabet atau gerak wayang. Pada garapan ini selain masih bisa menggunakan repertoar yang ada juga perlu penjelajahan gerak-gerak baru, baik secara ujut langsung maupun bayangan dengan dibantu pencahayaan yang mewadahi.
d. Garapan Karawitan.
Karawitan dalam pertunjukan wayang tidak sekedar mendukung suasana adegan atau tokoh, tetapi dapat mengantarkan bahkan dapat mewujutkan karakter kedalam suasana adegan tertentu. Kadang-kadang unsur lain seperti sabet tidak akan jelas maknanya tanpa dukungan iringan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat ditempuh sebagai berikut :
1). Menggunakan repertoar gending-gending tradisi dengan berbagai waton yang ada. Pada bagian ini ditekankan menggunakan repertoar gendhing untuk anak yang relevan.
2). Menggunakan repertoar gending dari berbagai gaya yang diminati. Seperti gaya yogyakarta, Surakarta, Banyumasan dan gaya yang lain. ( termasuk gending untuk tari dan atau jenis pertunjukan lain).
3). Menggunakan repertoar gending didasarkan pada konsep
iringan pakeliran padat.
4) Membuat gending baru. Untuk membuat gending baru, pencipta dapat membuat dengan pola bentuk gending yang sudah ada, seperti bentuk gending kethuk loro kerep, ketawang gending, ladrang, ketawang, lancaran, Sampak dan Srepeg. Dan membuat bentuk baru, seperti Gantungan, tandingan, palaran Jenggleng, dan lain sebagainya.
e. Garapan Boneka wayang. Perlu dibuat wayang baru, walaupun ornamennya masih berlandaskan pada wayang tradisi. Pada bagian ini ada dua penjelajahan, yakni :
1) Membuat wayang baru supaya dapat menghasilkan gerak
wayang yang beragam, baik secara keseluruhan maupun secara
anatomi (tidak meningalkan spesifikasi wayang tradisi yang
ada).
2). Membuat wayang ditekankan pada warna yang sesuai dengan
selera anak serta tembus bayang, serta membuat wayang ornament dan tatahannya untuk kebutuhan langsung dan bayangannya menarik bagi anak.
f. Unsur yang lain seperti Panggung wayang yang berisi Layar, lampu, hiasan tanaman dan penataan gamelan, perlu dicari format baru yang praktis dan efektif.
F. Prioritas Pengembangan Garap Pakeliran untuk Anak
Menurut teori fungsi pengamatan yang dipaparkan oleh Meumann, Stern, dan Oswald Kroh, dalam perkembangan jiwani anak, pengamatan menduduki tempat yang sangat penting. Meumann membedakan 3 fase perkembangan fungsi pengamatan, yaitu :
a) Fase sintese fartastis. Semua pengamatan atau penghayatan anak memberikan kesan – total. Hanya beberapa onderdil atau bagian saja yang bisa ditangkap jelas oleh anak. Selanjutnya, anak akan melengkapi tanggapan tersebut dengan fantasinya. Periode ini berlangsung pada usia 7-8 tahun.
b) Fase analisa, 8-9 tahun. Ciri-ciri dari macam-macam benda mulai diperhatikan oleh anak. Bagian atau onderdilnya mulai ditangkap, namun belum dikaitkan dalam kerangka keseluruhan atau totalitasnya. Sekarang fantasi anak mulai berkurang, dan diganti dengan pemikiran yang lebih rasional.
c) Fase Sintese logis kurang lebih 12 tahun keatas. Anak mulai memahami benda-benda dan peristiwa. Tumbuh wawasan akal budinya atau insight. Bagian atau onderdil-onderdil sekarang mulai dikaitkan dengan hubungan totalitasnya.
Mengacu pada teori tersebut, maka pengembangan garap kemasan wayang untuk anak usia sekolah ini perlu mempertimbang skala prioritas garap yang mengarah proses pada penumbuhan daya apresiasi dan daya hayat anak terhadap tokoh-tokoh wayang (purwa). Oleh sebab itu dalam penelitian ini sebagai langkah awal yang dilakukan adalah memberikan contoh-contoh konkret tentang tokoh-tokoh wayang, terutama yang dipandang paling popular dan menjadi faforit masyarakat
Khusus untuk kepentingan ini diambil tiga tokoh popular sebagai contoh yang dipandang representatif, yaitu: Bima, Gathutkaca, dan Srikandi. Adapun kemasan model penyajiannya ditekankan pada:
1. Kisah tokoh, yang mencakup: genealogi (silsilah), dan kronologi (kelahiran, masa kanak-kanak, masa dewasa, perkawinan, dan penobatan atau jumenengan). (didukung dengan contoh-contoh lakon, narasi dan deskripsi yang disertai gambar dan;atau foto.
2. Wujud tokoh: wanda wayang berangkat dari wayang tradisi dikembangkan secara berjenjang dari perubahan raut muka, atribut, dan asesoris (dari wujud yang paling komplek hingga yang paling sederhana) mudah ditangkap oleh memori anak. Hal ini dapat didukung dengan penampilan gambar-gambar tokoh: wayang purwa, wayang komik, wayang pengembangan baru, dan wayang wong.
3. Memberikan ilustrasi perbandingan tokoh wayang dengan tokoh-tokoh film kartun yang populer masa kini, seperti: Super Man, Spider Man, dan Herkules, untuk meyakinkan mereka bahwa tokoh-tokoh wayang kita lebih hebat dari pada tokoh-tokoh dari luar itu.
4. Gerak yang menarik; wayang dibuat sedemikian rupa sehingga dalang dapat menciptakan gerak-gerak akrobatik yang menarik bagi anak-anak.
5. Cerita, dikembangkan dari cerita tradisi yang sudah ada, permasalahannya dibangun menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicerna oleh anak. Muatan cerita lebih ditekankan pada pendidikan budi pekerti untuk anak.
G. Kesimpulan
Generasi muda adalah para calon pemimpin bangsa, sebagai calon pemimpin perlu dibekali pengetahuan kepribadian yang cukup matang. Masa depan bangsa dan negara ini ada di pundak mereka, selayaknyalah jika sejak sekarang kita mulai memikirkan secara masak-masak apa yang dapat kita berikan kepada mereka demi kebaikan dan keselamatan bangsa dan negara ini di masa mendatang.
Sebagaimana Ki Hadjar Dewantara dengan konsep tri dharma kepemimpinannya yang berbunyi: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, ketika seorang pemimpin menjadi garda depan, harus menjadi tauladan bagi bawahan dan rakyatnya dalam segala perilakunya. Ketika berada di level menengah, seorang pemimpin harus mempunyai inisiatif, mencetuskan ide-ide positif yang memberikan kontribusi bagi kemajuan negaranya. Ketika seorang pemimpin berada di level bawah, harus mendukung berbagai kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah di pusat, dan melaksanakan sebaik-baiknya.
Pengertian pemimpin dalam hal ini memiliki arti luas, tidak hanya pejabat-pejabat formal dalam kelembagaan negara, tetapi semua bangsa atau warga negara ini adalah “pemimpin”, dalam arti pemimpin bagi negara, pemimpin bagi masyarakat, pemimpin bagi keluarga, dan pemimpin bagi dirinya sendiri. Seseorang harus dapat menjadi tauladan, dapat mencetuskan suatu gagasan, dan mampu mendorong kemajuan negara. Untuk dapat mewujudkan itu tentu saja orang harus mengisi jiwanya dan mengasah pikirannya dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan. Orang Jawa sangat kental dengan budaya simbol. Cerita dan tokoh-tokoh wayang merupakan ungkapan simbolik tauladan-tauladan yang mengandung ajaran kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus pandai-pandai menjaga dan mempertahankan kehormatan negaranya, melindungi rakyatnya, dan selalu mawas diri (mulat sarira), mau menerima kritik dan saran dari berbagai pihak, serta berani mengakui segala kekurangannya, dan sanggup menghadapi segala kenyataan. Segala sesuatu mengenai cacad dan kekurangan pribadi tidak hanya dihitung dengan jari, tetapi harus dihayati sampai pada perasaan yang paling dalam.
Wayang merupakan produk budaya Jawa sebagai wahana penyampaian nilai-nilai moral, maka mentauladani nilai-nilai dalam pewayangan boleh dikatakan merupakan salah satu kewajiban orang Jawa untuk mencapai hidup selaras dan berwatak bijaksana. Kiranya tidak salah apabila ada orang yang menyanjung wayang sebagai salah satu seni klasik tradisional yang adiluhung. Kata adiluhung ini hendaknya tidak sekerdar menjadi obat bius yang memabukkan, tetapi hendaknya dipahami dalam konteks terhadap isinya yang mengandung nilai filosofi tinggi dan dikarenakan sifatnya yang rohaniah dan religius. Nilai-nilai itulah yang perlu ditanamkan kepada generasi penerus bangsa ini sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedigt, R.OG., Mithology and the Tolerance of the Javanese. Cornel Modern Indonesia Project, 1996. Diterjemahkan oleh Ruslani. Yogyakarta: Qalam, 2000.
Atmatjendana, al. Najawirangka, Serat Tuntunan Caking Pakeliran Lampahan
Irawan Rabi. Jogjakarta: B.P Bahasa dan Sastra Jawa, 1960.
Edmund Burke Feldman, 1967. Art AS Image and Idea. New Jersey: Prencict Hall., Inc.
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, alih bahasa Met Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Eirlangga, 1999.
Kartini Kartono, Psikologi Anak. Bandung: Mandar Maju, 1995.
Sastra Amidjaja, Sena, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.
Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002.
UNESCO, Wayang Indonesia Performance. Livret Program Book. Jakarta: SENAWANGI & PT Gramedia, 2004.
Yuli Nugroho, Samsunu., Semar & Filsafat Ketuhanan. Jogjakarta: Gelombang Pasang, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar