Sabtu, 03 Desember 2011

WAYANG PANJI (GEDHOG) DAN FILSAFAT JAWA

A. Pendahuluan
Indonesia di mata dunia dipandang sebagai negara yang paling kaya akan seni dan budaya. Di dalam era persaingan global ini salah satu kekayaan yang dapat diandalkan adalah produk budaya terutama kesenian. Salah satu produk seni budaya yang masih digemari oleh masyarakat dan mendapat pengakuan dunia adalah seni wayang atau pewayangan. Pengakuan bangsa-bangsa sedunia terhadap ke-adiluhung-an seni wayang menuntut konsekuensi nyata dari sikap dan perilaku kita sebagai bangsa Indonesia yang telah dikenal di mata dunia sebagai bangsa pemilik seni wayang. Predikat yang diberikan oleh The United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahwa Seni Wayang merupakan karya agung warisan dunia, dan telah diproklamirkan sebagai a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity bukanlah semata-mata sanjungan belaka untuk membanggakan diri kita. Akan tetapi, itu merupakan pacu bagi bangsa Indonesia untuk introspeksi dan melihat ke depan apa yang harus kita perbuat, agar nilai-nilai yang terkandung dalam seni wayang itu menjadi lebih berarti bagi kehidupan manusia. Yang dimaksud wayang dalam konteks ini bukan hanya wayang kulit purwa saja, melainkan semua jenis wayang yang ada di Indonesia, salah satu di antaranya termasuk Wayang Gedhog (Wayang Panji). Oleh karena itu, dalam kerangka ini penulis ingin melihat selintas makna ceritera wayang tradisional Jawa khususnya Wayang Gedhog (Wayang Panji) melalui sudut pandang ilmu filsafat.
B. Informasi Adanya Wayang
Orang Jawa pada umumnya memandang wayang sebagai ”cermin kehidupan” atau wewayanganing urip. Ditinjau dari asal mulanya, seni pertunjukan wayang merupakan hasil karya dari kegiatan religius masyarakat Jawa pada zamannya, karena ceritera wayang dipandang sangat sesuai untuk menyampaikan hal-hal ke-Ilahi-an (Zoedmulder, 1990:285).
Wayang dalam bahasa Jawa juga disebut Ringgit. Sejak zaman dahulu sudah dikenal istilah hawayang atau haringgit. Seperti terdapat dalam prasasti (840 M) lempengan IVa menyebutkan: ”hanapuka warahan kecaka tarimban hatapukan haringgit abanyol salahan”, yang artinya bahwa ”mereka para seniman topeng, tari kecaka, wayang, dan lawak ”(Timbul Hariyono, 2005:176). Kemudian dalam prasasti Wukajana pada masa Raja Balitung (Abad ke-9) menyebutkan.
”Hinyunaken tontonan mawidu sang tangkil hyang sinalu macarita bhima kumara mangigel kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus mabanyol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang macarita ya kumara”
Artinya
”Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh sang Tangkil Hyang Si Nalu berceritera Bhima Kumara dan menarikan Kicaka si Jaluk berceritera Ramayana, menari topeng dan melawak oleh Si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk Hyang (arwah nenek moyang) dengan ceritera (Bhima) Kumara” (Timbul Haryono, 2005:117)
Informasi di atas menunjukkan bahwa pada zaman itu sudah ada seni pertunjukan, seniman, dan ada permainan wayang yang dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Jadi pertunjukan wayang pada saat itu lebih difungsikan sebagai sarana ritual. Kata wayang atau ringgit dalam hal ini adalah pertunjukan yang menggunakan media wayang yang dibuat dari kulit lembu atau kerbau yang pipih, dan hanya memiliki dua demensi menghadap ke kanan dan/atau ke kiri saja.
Cerita pewayangan hidup dan berkembang di Indonesia melampaui berbagai lintasan zaman, sejak zaman Mataram Hindu hingga Mataram Islam sampai sekarang. Pada zaman Mataram Hindu banyak pujangga istana menciptakan karya-karya sastra yang mengambil objek ceritera wayang, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Adapun garapan ceriteranya ada yang berwujud saduran-saduran dari karya-karya sastra India seperti Ramayana dan Mahabharata; ada pula yang merupakan pengembangan dari keduanya, malahan ada yang tidak mengacu pada dua ceritera tersebut, tetapi merupakan ciptaan para pujangga yang mengacu pada budaya masyarakat di zaman itu.
Berita tentang adanya pertunjukan wayang di Indonesia lebih jelas lagi dapat ditengok dalam karya-karya sastra para pujangga zaman kuno, seperti Serat Arjunawiwaha yang dikarang oleh Empu Kanwa pada zaman pemerintahan Raja Erlangga di Kediri sekitar abad XI Masehi. Informasi itu ditemukan dalam pupuh V Cikarini pada 9, yang berbunyi sebagai berikut.
”…ananonton ringgit manangis asĕkĕl muda hidhĕpan huwus wruh towin ya(n) walulang inukir molah angucap atur ning wwa(ng) tŗşneng wişaya malahā tan wi(hi)ka(nhi)na, rtattwa(y)a.n (m)āyā sahana-hana ning bhawā siluman…”(Wiryamartana, 1990:81).
Terjemahannya kurang lebih demikian
”…menonton wayang menangis terisak-isak itu sikap orang bodoh, pada hal sudah tahu bahwa itu hanyalah kulit yang diukir, digerakkan dan diucapkan oleh dalang, itulah sebagai orang yang terbelenggu dalam keduniawian dan tersesat hatinya, yang dilihat itu sebenarnya hanyalah semu belaka bagaikan sulapan…”
Dapat diperkirakan bahwa pertunjukan wayang pada waktu itu sudah menggunakan boneka wayang yang dibuat dari kulit yang dipahat, digerakkan dan diucapkan oleh dalang, bahkan ceriteranya sudah mampu menyentuh hati para penontonnya hingga menangis. Lebih dari pada itu pertunjukan wayang juga sudah dimaknai sebagai simbol-simbol tauladan di dalam kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu. Dengan munculnya ceritera-ceritera pewayangan di dalam seni pertunjukan, maka peran dari karya-karya sastra pewayangan itupun berkembang pula sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat.
Ditinjau dari aspek pertunjukannya, wayang Jawa terdiri dari beberapa macam; di antaranya adalah Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Madya, dan Wayang Wasana. Wayang purwa pada umumnya menggelarkan lakon yang bersumber pada siklus ceritera Ramayana dan Mahabharata; Wayang Gedhog bersumber pada siklus ceritera Panji; Wayang Madya besumber pada siklus ceritera Madya, yaitu ceritera mengenai tokoh-tokoh keturunan Pandawa setelah raja Parikesit pada akhir zaman kerajaan Hastina. Wayang Wasana adalah pertunjukan wayang yang mengambil ceritera dari kisah-kisah kerakyatan dan sejarah; pertunjukannya berupa wayang suluh, wayang kancil, wayang Pancasila, wayang perjuangan, dan sebaginya. Adapun yang dimaksud wayang dalam penelitian ini adalah pertunjukan wayang kulit yang juga lazim disebut Wayang Purwa.
Damardjati Supadjar (2001: 7) membedakan pengertian Wayang Kulit dan Wayang Purwa. Disebut Wayang Kulit, karena boneka wayang itu dibuat dari kulit binatang, dilukis, dipahat, dan dibuat beraneka warna, sehingga menenangkan anak-anak untuk menontonnya. Posisi anak-anak menonton wayang itu pada umumnya dari depan kelir atau dari luar. Adapun disebut Wayang Purwa karena memuat intisari ajaran tentang Amurwa Kandha, yang berpangkal tolak dari Eneng-Ening “sesungguhnya tidak ada apa-apa”. Kecuali yang berkata tanpa kata demikian itu, purwa, madya. wasana, sejalan dengan posisi kayon tegak lurus di tengah-tengah kelir. Wayang Purwa ini pada umumnya yang menonton orang-orang dewasa, dan cara menontonnya dari belakang kelir atau dari dalam. Jadi orang nonton wayang yang ditonton adalah bayangannya bukan fisiknya. Dengan kata lain wayang itu yang dilihat bukan kulitnya, tetapi sari pati dari lukisannya yang berupa bayangan yang indah dipandang dari belakang kelir, karena diterangi oleh cahaya lampu yang disebut blencong, demikian pula halnya dengan pertunjukan Wayang Madya dan Wayang Gedhog (Panji).
Sajian pertunjukan wayang Gedhog tidak jauh berbeda dengan wayang kulit purwa, yaitu melibatkan berbagai unsur seni lainnya seperti: seni drama, seni sastra, seni karawitan, dan seni rupa. Melalui unsur seni drama, pertunjukan wayang dapat diketahui dan dihayati makna falsafati nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ceritera atau lakon. Dari unsur seni sastra dapat didengar dan dihayati ungkapan-ungkapan bahasa pedalangan yang indah dan menawan. Pada umumnya bahasa pedalangan tradisi, khususnya pedalangan yang hidup di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menggunakan tata bahasa Jawa yang banyak diwarnai dengan penggunaan bahasa Kawi. Dengan kehadiran kata-kata atau edium-edium bahasa Kawi dalam bahasa pedalangan, menimbulkan kesan spesifik dan adiluhung. Dengan kehadiran unsur seni lukis atau rupa dapat dilihat bentuk wayang dengan tata warna dan lukisan asesoris yang indah dan representatif sesuai dengan karakter kejiawaan masing-masing wujud wayang. Dengan demikian seorang dalang ataupun penonton akan mudah melihat dengan jelas perbedaan tokoh satu dan lainnya.
Kiri: Panji Anom, kanan: Panji Sepuh
Koleksi ISI Surakarta
Menurut Serat Centini, Wayang Gedhog timbul pada abad VX, dicipta oleh Sunan Ratu Tunggul pada zaman Demak. Penciptaan wayang ini ditandai dengan sengkalan Gambar Naga ing Dipatya (1485 Saka). Semula wayang ini hanya menceritakan lakon Panji, tetapi dalam perkembangannya Sunan Bonang memasukkan cerita Damarwulan pada tahun 1488 Saka. Sunan Ratu Tunggul di Giri (Sunan Giri) mencipta Wayang Gedhog tanpa tokoh raksasa juga tanpa tokoh kera. Adapun tokoh-tokoh utamanya antara lain: Panji Asmarabangun (Inu Kartapati), Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana), Panji Gunungsari, Prabu Klana Sewandana, dan Bugis sebagai bala tentaranya. Penciptaan Wayang Gedhog ini diawali dengan pembuatan tokoh Bathara Guru memegang tombak dililit seekor naga, dengan sengkalan yang berbunyi: Gegamanaing Naga Kinaryeng Bathara, menunjukkan angka tahun 1485 Saka/1563 M ( Soetarno, 2007: 134). Cerita Panji ini juga populer di Thailand dan Kambodja, tokoh Panji Inu Kartapati disebut dengan nama populernya Hino atao Inoe.
Kiri: Panji Gunungsari, kanan: Panji Inu Kartapati (Sepuh)
Koleksi: ISI Surakarta
Wayang Gedhog cukup berkembang ketika pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) di Surakarta, di keraton pada waktu itu setiap sebulan sekali dipergelarkan Wayang Gedhog. Pertunjukan ini dilakukan ketika raja meninggalkan kerajaan (jengkar) dalam beberapa hari, selama raja pergi di keraton diadakan tuguran, para abdi dalem keraton bergiliran menjaga keraton. Pada setiap malam tuguran itu diadakan pertunjukan wayang, mulai dari Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Gedhog, sampai Wayang Krucil atau Wayang Klithik. Dengan demikian semua jenis wayang yang ada di keraton pada waktu itu tampak hidup, karena pada saat-saat yang telah ditentukan selalu dipertnjukkan.
C. Wayang Panji dan Filsafat Jawa
Ketika ada pertanyaan mengenai Orang Jawa, wayanglah sebagai cermin untuk melihat proyeksi kehidupan orang Jawa secara lengkap dengan filsafat dan kebudayannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Susilo (2000: 74) bahwa, wayang secara tradisional adalah intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang merupakan warisan turun-tumurun, dan secara konvensional telah diakui bahwa ceritera dan karakter tokoh-tokoh wayang itu merupakan cerminan inti dan tujuan hidup manusia. Penggambarannya sedemikian halus, penuh dengan simbol-simbol (pralambang dan pasemon) sehingga tidak setiap orang dapat menangkap pesan atau nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kehalusan wayang merupakan kehalusan yang sarat dengan misteri. Hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan batin tertentu saja yang mampu menangkap inti sari dari pertunjukan wayang.
Wayang pada hakikatnya adalah simbol dari kehidupan manusia yang bersifat kerokhanian. Sebagai kesenian klasik tradisional, wayang mengandung suatu ajaran yang bersinggungan dengan hakikat manusia secara mendasar. Di antaranya ialah ajaran moral yang mencakup moral pribadi, moral sosial, dan moral raligius (Nugroho, 2005: 11). Pertunjukan wayang menggelarkan secara luas mengenai hakikat kehidupan manusia dan segala di sekitarnya serta rahasia hidup beserta kehidupan manusia. Melalui pertunjukan wayang manusia diseyogyakan merenungkan hidup dan kehidupan ini utamanya mengenai kehidupan pribadi yang berhubungan dengan sangkan paraning dumadi dan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi kehidupan di dunia yang tidak lama ini.
Dewasa ini apabila terdengar pembicaraan tentang karya-karya budaya tradisional, pada umumnya orang mempunyai persepsi ke belakang. Tradisi selalu diidentikkan dengan yang kuno, irrasional, dan ketinggalan zaman. Akibatnya, banyak tulisan tentang kajian produk budaya masa lampau bernilai tinggi yang muncul di jaman ini kurang diminati oleh generasi sekarang.
Di dalam kesempatan ini penulis ingin mencoba menengok ke belakang dalam kerangka untuk memandang jauh ke depan, dengan menekankan pada penggalian nilai-nilai dalam ceritera Wayang Panji yang dipandang masih relevan bagi kehidupan manusia baik sekarang maupun masa yang akan datang. Nilai-nilai itu dikaji dengan kaidah-kaidah ilmu filsafat, diadaptasikan dengan paradigma baru dalam perkembangan dunia ilmu filsafat sekarang.
Wayang Panji perlu dikaji, karena banyak menyampaikan pesan-pesan berupa nilai-nilai hakikat hidup, pandangan hidup, dan budi pekerti. Hal-hal tersebut terselubung dalam simbol-simbol yang sangat rumit dan lembut. Untuk mengungkap berbagai tabir simbolik dalam lakon wayang itu diperlukan perenungan secara mendalam dan serius. Sudibjo dan Wirasmi (1980: 5) dalam pengentar terjemahan Serat Panji Dadap mengatakan bahwa, Karya sastra lama akan dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yng tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.
Salah satu disiplin yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah-masalah dalam lakon wayang adalah ilmu filsafat.
Melalui penulisan ini diharapkan menambah wawasan tentang pentingnya pemahaman terhadap niali-nilai dalam cerita Wayang Panji yang mengandung nilai-nilai filsafati, sehingga nilai-nilai itu mudah dicerna dan dipahami oleh generasi masa kini dan masa mendatang. Kajian melalui ilmu filsafat merupakan pencarian hakikat kebenaran mendasar. Oleh sebab itu, pembahasan filsafat tentang cerita Wayang Panji akan selalu bergayut dengan tiga cabang filsafat yang saling berkait yaitu “metafisika wayang”, “aksiologi wayang”, dan “epistemologi wayang”.
Secara aksiologis pertunjukan Wayang Panji merupakan eksplorasi dari nilai-nilai kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan manusia. Nilai-nilai itu disampaikan melalui pembeberan peristiwa-peristiwa yang berupa simbol-simbol dalam bentuk pertunjukan. Seperti halnya dapat dilihat pada struktur lakon, struktur adegan, dan penokohan.
Secara epistemolgis, ungkapan simbol-simbol dalam pertunjukan Wayang Panji itu mengandung pesan-pesan pengetahuan ataupun ajaran-ajaran kehidupan. Hal ini terungkap dalam ucapan wacana tokoh melalui dalang, baik berupa narasi maupun dialog tokoh dan wejangan-wejangan. Dengan demikian untuk mencapai kebenaran mendasar mengenai pemahaman nilai filsafati dalam pertunjukan Wayang Panji terlebih dahulu memahami aksiologi dan epistemologi dalam wayang Panji.
Kajian mengenai nilai-nilai dalam pertunjukan wayang secara umum dapat dipastikan mengandung pesan-pesan ontologis, kosmologis, dan antropologis. Tiga aspek tersebut adalah cabang filsafat metafisika. Sedangkan kajian melalui aspek metafisika berarti melakukan metode hermenuitika, karena pengkaji akan melkukan interpretasi prosedural yang mengrah pada penafsiran filosofis yang paling dalam. Oleh karena itu dalam dunia filsafat, metafisika juga dipandang sebagai hermenuitika (Johanis Ohoitimur. 2006).
Membahas cerita Wayang Panji adalah berbicara tentang nilai.”Nilai” adalah sesuatu yang dianggap benar dan perlu dihargai. ”Nilai” mempunyai maksud mengartikan secara umum segala yang menjadi objek penghargaan atau sebagai sesuatu yang pada dirinya layak dihormati atau dikagumi (Muji Sutrisno, 1993: 84). Nilai filsafati dalam wayang adalah pesan-pesan filosofis yang dipandang perlu dan layak dihargai serta ditauladani oleh manusia, yang terdapat di dalam ceritera wayang.
Ditinjau dari struktur pertunjukan secara tradisi semalam pada umumnya mempunyai konvensi yang berdimensi ontologis, karena isinya membeberkan nilai-nilai hakikat keberadaan hidup manusia dalam satu siklus kehidupan yang disebut lekas sangkan paraning dumadi. Secara umum lakon dalam pergelaran semalam itu dapat diinterpretasikan sebagai lambang kehidupan manusia dalam tiga tahap yakni pertama lair, kemudian menjalani lakon, akhirnya mengalami kematian atau lampus.
Selain itu, lakon Wayang Panji juga mengandung banyak simbol-simbol yang dapat dimaknai secara kosmologis, karena dalam pertunjukan wayang dalam lakon-lakon tertentu selalu disampaikan ajaran-ajaran yang mengarah pada pemahaman kehidupan manusia sebagai bagian dari dunia semesta, sehingga sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia harus dapat menyesuaikan keberadaannya secara pribadi atau mikro kosmos, terhadap ketertiban dan susunan kehidupan dunia semesta atau makro kosmos. Dengan demikian manusia akan mengalami hidup yang selaras, serasi, dan seimbang. Cerita Panji yang diadopsi dalam berbagai lakon wayang Panji/Gedhog memiliki satu tipe atau model yaitu tepe lakon penyamaran dan pencarian. Seperti perjalanan Panji Inu Kartapati menyamar sebagai Andhe-Andhelumut seorang kawula cilik, hidup di pedesaan menjadi anak seorang janda, dalam rangka mencari Dewi Sekartaji.
Secara utuh pertunjukan Wayang Panji juga merupakan cerminan tata nilai kehidupan orang Jawa. Dalam perjalanan suatu lakon tersirat mengenai nilai-nilai hakikat kehidupan manusia. Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam lingkungannya, serta dirinya sendiri.
Wayang Panji menyampaikan ajaran moral kepemimpinan. Pengembaraan Panji mencari Dewi Sekartaji bukanlah semata-mata karena asmara, tetapi ini merukan simbol suatu idealisme seorang pemimpin. Putri Sekartaji dapat diibaratkan sebagai simbol puncak kebahagiaan sejati, seorang pemimpin dalam menggapai kebahagiaan sejati hendaknya mengenali segala sesuatu yang ada di sekitarnya, yaitu mengenali semua sifat alam lingkungannya; sebagaimana lakon Wahyu Makutharama dalam pertunjukan Wayang Purwa yang lazim disebut Hasthabrata. Hastha berarti delapan, Brata adalah laku atau tindakan. Hasthabrata dapat diartikan delapan tindakan yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin atau raja. Inti dari Hasthabrata adalah delapan ajaran moral kepemimpinan. Dalam Lakon Wahyu Makuthrama, tokoh yang mendapatkan ajaran Hasthabrata adalah Arjuna, yang disampaikan oleh Begawan Kesawasidhi sebagai wujud lain dari Krisna. Arjuna dan Krisna adalah reinkarnasi dari Wisnu, dalam dunia pedalangan biasa diucapkan oleh dalang; Wisnu binelah panitise dadi Kresna lan Arjuna, kaya suruh lumah lan kurepe, dinulu seje rupane yen digigit tunggal rasane; meskipun dalam dua wujud tetapi satu jiwa. Demikian halnya Panji Inu Kartapati dan Panji Gunungsari.
Perjalanan Panji Asmarabangun mencari Sekartaji tidak semata-mata dapat diartikan secara harafiah. Kata ”perjalanan” dan ”mencari” merupakan simbol ”jiwa rohani dan karakter manusia”. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sri Mangkunegara VII bahwa, tiap lakon wayang merupakan lambang perbuatan mistik atau ”patraping samadi”. Demikian halnya dengan perjalanan Panji. Jadi pengertian ”perjalanan” adalah laku atau tindakan rohani menuju tingkat spiritual terdalam. Sedangkan ”mencari” yaitu upaya menemukan ”Sang Sejati”, yang tidak berwujud wadag melainkan bersifat rohani. Orang bersamadi mencari pencerahan atau kepuasan spiritual ataupun petunjuk Gaib, badannya tidak bergerak dan tidak beranjak dari tempat di mana ia berada; yang bergerak hanyalah jiwanya. Diibaratkan Panji yang melampaui berbagai pengalaman mencari Dewi Sekartaji.
Panji harus berhadapan dengan berbagai rintangan yang menghalanginya sebelum menemukan Dewi Sekartaji. Ini merupakan simbol dari kemungkaran hawa nafsu empat macam Mutmainah, Amarah, Supiyah, dan Lauamah. Oleh karena Panji telah memiliki keteguhan hati dan kesentosaan iman, maka empat penghalang itu dapat dimusnahkan. Jadi dalam hal ini Panji merupakan simbol dari jiwa yang teguh dan mampu menakhlukan hawa nafsu yang menggoda, sehingga cita-citanya tercapai dengan sempurna.
Kiri: Raden Klana Sasra Hadimurti, kanan: Prabu Klana Sewandana
Koleksi ISI Surakarta
D. Panji Asmarabangun sebagai Simbol Kepemimpinan Jawa
Perjalanan Panji Asmarabangun sebagai kawula cilik hidup menyatu dengan orang-orang desa merupakan simbol pemahaman manusia terhadap alam semesta, yaitu kemanunggalan mikrokosmos dan makrokosmos. Dengan memahami sifat-sifat alam semesta berarti manusia menyadari pula akan kekuasaan Tuhan Maha Pencipta. Sebagaimana yang diajarkan oleh Begawan Kesewasidi kepada Arjuna dalam lakon Wahyu Makutharama; bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang baik harus menjalankan delapan watak alam yang disebut Hasthabrata. Adapun delapan watak alam dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Watak Surya; artinya Matahari. Seorang pemimpin harus berguna laksana matahari. Matahari di pagi hari selalu terbit dari timur dan sore hari tenggelam di barat, itu sebagai lambang sifat setia dan selalu menepati janji. Dengan sinar matahari, segala yang ada di muka bumi dapat hidup dan berkembang sesuai kodratnya masing-masing. Sebagai seorang pemimpin harus setia pada janjinya, mampu memberi kekuatan dan semangat hidup bagi rakyatnya.
2. Watak Candra; artinya Bulan. Cahaya bulan menerangi di waktu malam hari, berkesan sejuk indah dan damai. Seorang pemimpin harus menunjukkan sikap yang menarik dan menyenangkan, serta mampu menerangi hati rakyatnya yang sedang mengalami kesusahan; laksana bulan purnama. Nama lain Dewi Sekartaji adalah Galuh Candrakirana, Candra berarti rembulan, kirana artinya cahaya Panuji Asmarabangun selalu mencari di mana Candrakirana berada, ini merupakan lambang bahwa seorang raja harus selalu memiliki cahaya keindahan yang mampu menyejukkan rakyatnya.
3. Watak Kartika; artinya Bintang. Bintang di langit pada malam hari nampak indah bagaikan hiasan permata, dan selalu tetap pada tempatnya. Bintang juga berguna sebagai petunjuk arah bagi para nelayan. Seorang pemimpin harus berfungsi laksana bintang, yaitu bersikap tenang, dapat menjadi tauladan, dan menjadi kiblat atau pedoman bagi rakyatnya.
4. Watak Himanda; artinya Awan. Awan di angkasa kelihatan seram dan menakutkan, tetapi apabila sudah menjadi hujan sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Seorang pemimpin harus berguna laksana awan, yakni berwibawa, dan bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.
5. Watak Kisma; artinya Bumi. Bumi setiap hari diinjak oleh manusia, dinajak, dicangkul dan sebagainya. Akan tetapi bumi tidak pernah menyesal, tidak pernah mengeluh, bahkan barang siapa menjatuhkan benih di bumi pasti akan tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Setiap pemimpin harus bersifat laksana bumi, yakni berbudi sentosa dan jujur, tidak suka hanya menerima pemberian, bahkan selalu memberi anugerah kepada siapa saja yang berjasa terhadap bangsa dan negara.
6. Watak Dahana; artinya Api. Api memiliki sifat tegak menyulut ke atas. Barang siapa menghalangi api tentu akan terbakar. Api sebagai lambang ketegasan dan keadilan. Setiap pemimpin harus bersikap laksana api, yakni tegas dan berani memberantas semua rintangan secara adil tanpa pandang bulu.
7. Watak Samodra; artinya Air. Samodra luas tanpa batas dan menampung segala muara air. Setiap pemimpin harus bersifat laksana samodra atau air, yaitu lapang dada, adil, sanggup menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak membeda-bedakan cara merangkul rakyatnya (momot, momong, memayu, dan memangkat)
8. Watak Samirana; artinya Angin. Tiada tempatyang tidak terkena angin, di gunung ada angin, di lembah dan dasar samoderapun ada angin. Setiap pemimpin harus bertindak laksana angin, yaitu melakukan tindakan teliti dan mencermati segala lapisan, jika rakyat yang ada di lapisan atas didekati, rakyat di lapisan bawahpun juga harus didekati, sehingga tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Melihat sekilas paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua isi dari ajaran delapan watak alam semesta itu merupakan ajaran moral kepemimpinan yang masih memiliki relevansi tinggi bagi kehidupan aktual di zaman sekarang dan di masa mendatang. Hal-hal yang berhubungan dengan nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan dapat didekati dengan filsafat moral. Ketika orang menangkap suatu pesan kemudian timbul pertanyaan tentang apa sebenarnya di balik pesan itu?, ini adalah pertanyaan filosofis metafisik. Kebenaran, kejujuran, dan keadilan adalah menjadi keyakinan dan harapan dalam kehidupan secara universal. Panji Asmarabangun sebagai seorang raja selalu berbaur dengan rakyatnya, ia melalui cara menyamar dan menyelinap ke deswa-desa. Oleh karena itu dipandang perlu nilai-nilai dalam Wayang Panji ini untuk digali makna filsafati yang terkandung di dalamnya dan selalu disosialisasikan kepada masyarakat luas, guna membangun kualitas moral bangsa Indonesia tercinta ini.
Pengertian kepemimpinan dalam ajaran tersebut bukan semata-mata suatu tuntunan bagi seorang raja memimpim rakyatnya, akan tetapi juga pemahaman bagi manusia pada umumnya terhadap kodratnya, sehingga mampu memimpin dirinya sendiri.
E. Kesimpulan
Karya budaya Jawa seperti pertunjukan Wayang Panji sangat tepat apabila dikaji secara filsafati. Pengkajian filsafati dalam lakon-lakon Wayang Panji tentu melibatkan berbagai cabang filsafat seperti metafisika, etika dan estetika. Dari aspek metafisika, lakon wayang dapat dilihat dari aspek ontologi, kosmologi, dan antropologi. Dengan pendekatan metafisika otomatis pengkaji akan menerapkan metode hermenuitika. Melalui metode hermenuiktika maka dapat ditemukan makna filsafati yang paling dalam dari berbagai nilai yang tersirat pada pertunjukan wayang. Dengan demikian pemahman dan penyebarluasan nilai itu tidak hanya bersifat konservatif semata, tetapi akan muncul inovasi-inovasi yang tetap mengacu pada roh nilai-nilai tradisi yang sudah mapan dan diakui oleh masyarakat luas, serta diaktualisasikan sesuai dengan kondisi zamannya.
Dengan demikian Wayang Panji tidak hanya dipandang sebagai seni pertunjukan semata, akan tetapi lebih dipahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman nilai-nilai itu akan memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dan martabat manusia yang pada gilirannya akan memberikan andil dalam pembentukan sikap dan watak Bangsa Indonesia.
Selamat Seminar!
DAFTAR PUSTAKA
Asdi, Endang Daruni, Manusia Seutuhnya dalam Moral Pancasila. Jogjakarta: Pustaka Raja, 2003.
Ciptopawiro, Abdullah , Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Damardjati Supadjar.
2001 Mawas Diri Dari Diri yang Tangal, ke Diri yang ”Terdaftar, Diakui, Disamakan”, yakni Diri yang Terus Terang dan Terang Terus. Yogyakarta: Philosophy Press,.
Darusuprapta, Serat Wulang Reh. Surabaya: Citra Jaya Murti, 1992.
Drijarkara, N. SJ., Filsafat Manusia. Jogjakarta: Kanisius, 1998
Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala, 2003.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jogyakarta Pustaka Jaya, 1999.
Harsaja, Siswa, Pakem Makutarama. Jogjakarya: Pesat, 1954.
Haryono, Timbul, Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. Surakarta: Program Pendidikan Pasca sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta 2005.
Hudoyo, Suryo, Serat Bagawadgita. Surabaya: Djojo Bojo, 1990.
Johanis Ohoitimur, Metafisika Sebagai Hermeneutika. Jakarta: Obor, 2006.
Kant, Immanuel, terjemahan Robby H. Abbror. Dasar-Dasar Metafisika Moral. Yogjakarta: Insight Reference 2004.
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni. Yogyakarta: Paradigma, 2005.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. Terjemahan Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi
Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984.
Langeveld, MJ., Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan, tt.
Mulyono, Sri, Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Mulyono, Sri, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: CV. Masagung, 1989.
Mulyono, Sri, Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Alda,
1975.
Palmer, Richard E., Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston: Noerthwestern University Press, 1969.
Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogjakarta: Pustaka
pelajar, 2005.
Scheler, Max, Nilai Etika Aksiologis, terjemahan Paulus Wahana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Sastro Amidjojo, Seno, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.
Siswanto, Joko, Metafisika Sistematik. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2004.
Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002.
Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak SJ., Estetika Filsafat Keindahan. Jogjakarta:
Kanisius, 1993
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Suyanto, Nilai-Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu Makutharama dalam
Perspektif Metafisika. Surakarta: ISI Press, 2009.
Wiryamartana, Kuntara I., Arjunawiwaha. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 1990.
Wignyosoetarno, Lampahan Makutarama Pedalangan Ringgit Purwa Wacucal. Surakarta: Yayasan P.D.M.N., 1972.
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jogyakarta: Kanisius,1990.
BIODATA PENULIS
a. Nama : Dr. Suyanto, S.Kar., MA.
b. Tempat dan tanggal lahir : Malang, 13 Agustus 1960
c. Pangkat/jabatan : Pembina Tk. I, IVb/Lektor Kepala,
Pembantu Dekan I Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
d. Riwayat pendidikan tinggi:
1966 – 1972: Sekolah Dasar Negeri Undaan, Turen, Malang.
1973 – 1976: Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gondanglegi,
Malang.
1976 – 1979: Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Turen, Malang.
1981 – 1984: Sarjana Muda Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta.
1985 – 1986: Seniman/Sarjana (S-1) Akademi Seni Karawitan Indonesia
Surakarta.
1994 – 1996: S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Asia
Tenggara Universitas Sydney Australia.
2005 – 2008: S-3 Program Studi Ilmu Fisafat Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
e. Riwayat Pekerjaan:
1986 – 1987: Sebagai guru di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Widyadarma Turen, Kab. Malang, Jawa Timur.
1988 sampai sekarang sebagai dosen Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta
f. Karya Ilmiah:
1988: ’’Tinjauan Pengetahuan Pedalangan Karya R. Soetrisno’’. Laporan
penelitian.
1990: ’’Danapati’’. Laporan Penelitian.
1996: ’’Wayang Malangan: Background, Performance and Performer’’. Tesis S-2 Universitas Sydney Australia.
1997: ’’Wayang Malangan: Kesenian Rakyat dan Tradisi Oral’’. Artikel dalam
majalah ATL edisi 1997.
1999: ’’Studi Sabet Wayang Malangan’’. Laporan penelitian mandiri.
2001: Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Buku
referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika Surakarta.
2000: ’’Tinjauan Lakon Bharatayudha Versi Sudarman Ganda Darsana’’.
Laporan penelitian kelompok.
2001: ’’Pakeliran Jawa Timuran Gaya Porongan’’. Laporan penelitian.
2002: Wayang Malangan. Buku referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika
Surakarta.
2003: ’’Makna Tokoh Kaslupan dalam Ceritera Wayang Jawa’’. Laporan
penelitian.
2004: ”Konsep-Konsep Ceritera Wayang Jawa Dengan Tokoh Kaslupan”.
Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Surakarta.
2005: ”Metafisika Sebagai Hemeneutika Dalam Penelitian Filsafat Lakon
Wayang. Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta.
2006: ”Nonton Wayang Dari Dunia Filsafat”. Jurnal Lakon. Jurusan
Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta.
2008: Teori Pedalangan. Buku Referensi diterbitkan oleh ISI Surakarta
Press.
2008: “Metafisika Dalam Lakon Wahyu Makutharama Relevansinya Bagi
Kepemimpinan”. Penelitian Disertasi Progam Doktor dalam Ilmu
Filsafat, Program Studi Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada

SENI PERTUNJUKAN WAYANG SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Sayanto, S.Kar., MA.
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah bagian dari sistem pengetahuan yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Sebagaimana diutarakan oleh Koenjaraningrat (1981: 202-209), bahwa kebudayaan merupakan sistem dalam kehidupan manusia yang mencakup sistem religi, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem bercocok tanam, dan sistem kesenian. Pendidikan mengarahkan manusia kepada cara berpikir cerdas dan rasional. Seperti tercantum di dalam pembukaan UUD 45, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai suatu bangsa harus memiliki kecerdasan dalam berpikir, mampu memelihara perdamaian dalam kehidupan bersama di muka bumi, dan mampu menegakkan kebenaran yang seadil-adilnya.
Manusia dan kebudayan selalu berada dalam bingkai ruang dan waktu tertentu yang disebut ”jaman”. Jaman merupakan suatu periode di mana manusia dan kebudayaannya berada. Dari jaman ke jaman kehidupan manusia selalu dihadapkan dengan situasi kebudayaan yang selalu berubah dan berkembang. Di dalam perjalanan perubahan dan perkembangan itulah manusia silalu dituntut mengembangkan daya kreatifitas dalam memenuhi hajat hidupnya. Hal yang yang perlu menjadi komitmen bahwa, manusia modern, pada dasarnya, adalah manusia yang sepenuhnya menyadari akan kebudayannya, aktif turut memikirkan dan merencanakan arah yang harus ditempuh oleh kebudayaan secara manusiawi (Peursen, 1988: 10).
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang menjadi sarana ekspresi manusia untuk mengungkapkan gagasan tentang keindahan. Kesenian adalah produk budaya manusia yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepada manusia sebagai pemiliknya. Oleh karena itu semua bangsa tentu mempunyai semboyan bahwa kesenian perlu dilestarikan. Semboyan ini bukan semata-mata konservasi dari wujud fisiknya, melainkan kandungan nilai-nilai yang mampu memberikan kontribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan jiwa generasi penerusnya.
Hakikat dari seni adalah indah, dalam wujud apa saja karya seni intinya adalah keindahan. Indah dalam arti mengandung pesan dan kesan menarik karena dianggap baik, adiluhung, dan benar. Hakikat indah bukanlah semata-mata sesuatu yang secara ideal dianggap ”bagus”, melainkan ada suatu kandungan nilai yang mampu menyentuh jiwa yang paling dalam. Nilai itulah yang akan menggerakkan hati manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri, sadar akan lingkungannya, dan sadar akan penciptanya.
Melalui seni, manusia dapat mengambil pelajaran hidup, karena seni pada hakikatnya adalah cerminan pendidikan yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam memberikan pendidikan anak yang berwawasan seni dan lingkungan tidak berarti memaksakan anak didik untuk memahami suatu bentuk seni ataupun aliran seni, hal yang lebih signifikan adalah bahwa nilai seni itu mampu menginspirasi anak didik untuk menggerakkan daya rasional maupun daya emosionalnya sehingga anak memiliki kualitas kecerdasan yang tinggi.
Seni bukanlah teori yang harus menjadi dasar pemikiran untuk pengembangan ilmu, tetapi seni merupakan media ungkap untuk mengekspresikan suatu gagasan. Namun demikian seni merupakan simbol yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Dalam memahami dan mengupas makna dari simbol-simbol yang diungkapkan melalui seni itu, kita dapat memandang dari berbagai aspek disiplin sesuai dengan kebutuhan pengetahuan.
Salah satu bentuk seni yang mengandung nilai-nilai pendidikan adalah ”wayang kulit”. Kesenian ini selalu hidup dan mampu bertahan dari jaman ke jaman berikutnya, karena mampu beradaptasi dengan budaya jamannya. Meskipun dalam perjalanannya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, tetapi ruh yang hakiki dari suatu kesenian itu selalu abadi di masyarakat pemiliknya. Perubahan dan perkembangan itu terjadi karena pandangan budaya masyarakat selalu berubah dan berkembang. Oleh karena itu pandangan akan nilai dalam wayang itupun juga bergerak sesuai dengan karakter dan kepentingan jamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian wawasan bukanlah hal yang bersifat staknan atau statis, melainkan sebagai paradigma yang dinamis. Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan yang mengandung pesan-pesan pendidikan, baik dilihat dari wujud karakter tokoh-tokohnya, pertunjukan, maupun lakon-lakon yang disajikan.
B. Wayang sebagai Gambar Karakter.
Wayang kulit merupakan gambar karakter, bukan gambar figur manusia. Semua ornamen yang ada di dalamnya dilukis serba artistik dan estetik. Secara artistik ornamen-ornamen dalam lukisan wayang tampak menarik, karena mengandung nilai-nilai seni yang edipeni. Secara estetik wujud ornamen dalam lukisan wayang itu mengandung makna simbolik yang berhubungan dengan filosofi karakter masing-masing tokoh. Berbagai ornamen yang yang diukir dan disungging pada figur wayang itu selalu disesuaikan dengan karakter wayang yang masing-masing memiliki ciri-ciri spesifik, misalnya: tokoh Bhima selalu memakai sumping pudhak sinumpet, pupuk jarot asem, kampuh poleng, dan sebagainya. Arjuna selalu mengenakan sumping waderan, kampuh limar ketangi, gelung minangkara, dan lain-lainnya. Ciri khas tokoh-tokoh tersebut tidak hanya sekedar membedakan antara satu dan lainnya, tetapi juga mencerminkan perwatakan tokoh, baik tokoh yang berwatak bijak maupun yang berwatak jahat. Dari perwatakan yang telah menjadi konvensi dalam dunia pewayangan itu dalam masyarakat Jawa tokoh wayang banyak yang menjadi idola masyarakat untuk dijadikan suri tauladan. Misalnya tokoh Bhima dan Anoman dipajang di ruang tamu, diharapkan anak-anak mentauladani watan Bhima yang jujur dan teguh, watak Anoman yang pemberani dan sakti mandraguna.
Kekuatan konvensional dalam wayang banyak mempengaruhi budaya masyarakat, tidak sekedar lukisan yang digunakan sebagai hiasan dan kesenangan, lebih jauh wayang menjadi pandangan hidup, tauladan, dan harapan masyarakat. Misalnya: orang tua memberi nama anaknya dengan nama wayang: Bhima, Yudhistira, Sadewa, Tutuka, Sita, Prita, dan lain-lainnya, semua itu mempunyai harapan bahwa kelak anaknya menjadi orang yang berkarakter seperti tokoh-tokoh wayang tersebut. Bahkan karanter tokoh wayang itu menjadi standar harapan masyarakat, contoh: anak laki-laki diharapkan yang tampan seperti Arjuna, gagah seperti Gathutkaca, pemberani seperti Bhima. Anak perempuan diharapkan cantik seperti Subadra, tangkas seperti Srikandhi. Tidak mungkin orang berharap memiliki anak laki-laki yang brutal seperti Rahwana, jahat seperti Sangkuni. Sejauh itulah nilai-nilai ketauladanan wayang bagi masyarakat penggemar wayang.
Wayang dalam pertunjukannya secara konvensional terdapat dua golongan yang disebut Bala Kiwa dan Bala Tengen. Dua istilah tersebut tidak semata-mata berhubungan posisi penempatan ataupun penataan wayang dalam pakeliran, melainkan istilah yang hubungannya dengan karakter wayang. Yang dimaksud Bala Kiwa adalah tokoh-tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh yang berwatak jahat atau buruk. Tokoh-tokoh ini tidak hanya barupa tokoh yang berwajah buruk saja, seperti raksasa ataupun setengah raksasa, tetapi juga banyak tokoh-tokoh yang jahat yang berupa Ksatriya, Dewa, atau pun Pendeta. Tokoh-tokoh itu dalam pertunjukan wayang pada umumnya diposisikan di sebelah kiri. Sebaliknya dengan tokoh-tokoh yang tergolong Bala Tengen tidak selalu berupa tokoh-tokoh ksatriya yang bagus-bagus atau ganteng-genteng, banyak pula tokoh-tokoh yang berwujud setengah raksasa, dan raksasa. Tokoh-tokoh itu disebut Bala Tengen kaena dalam pertunjukan pada umumnya diposisikan di sebelah kanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah simpulan-simpulan dalam suatu pertunjukan wayang, bahwa pada setiap lakon pada akhir ceritanya Bala Kiwa yang angkara murka selalu dikalahkan oleh Bala Tengen yang yang selalu berpegang pada prinsip kebenaran.
B. Pesan Pendidikan Semesta dalam wayang
Pertunjukan wayang merupakan suatu simbol kehidupan semesta, di dalamnya selalu menyampaikan pesan-pesan yang berhubungan dengan dunia makro dan dunia mikro atau lazim diucapkan oleh dalang jagad gedhé dan jagad cilik. Orang Jawa menginterpretasi dunia mikro bukan hanya terletak pada unsur-unsur kecil yang merupakan bagian-bagian dari dunia makro, tetapi lebih dimaksudkan pada dunia individu manusia. Maka dalam jagad pedalangan selalu diucapkan melalui pocapan padupan demikian: “. . . jagad gedhé yaiku jagad kang gumelar, jagad cilik tegesé jagading sang prabu pribadi. . . “. Maksudnya, jagad besar adalah alam semesta, sedangkan jagad kecil adalah dunia individu sang raja pribadi.
Pertujukan wayang terdiri atas berbagai unsur, baik bersifat fisik maupun non- fisik. Unsur-unsur fisik berupa wayang, gawang dan kelir, bléncong, debog, tapak dara, kothak, gamelan, cempala, keprak, serta lain-lainya. Unsur non fisik yaitu perabot garap pakeliran yang berupa lakon, catur atau wacana, gerak wayang atau sabet, suluk, dodogan dan keprakan, serta karawitan pakeliran. Semua unsur tadi dalam pertunjukan disajikan secara serentak bersama dalam satu kesatuan sistem jalinan yang harmonis, tertib dan teratur, sehingga menghasilkan kesan estetik yang sungguh manakjubkan.
Kelir diibaratkan dunia semesta, warna putih menggambarkan suasana bersih atau kosong tidak ada apa-apa, pada bagian atas diberi plangitan atau langit-langit sebagai simbol dunia atas, sedangkan pada bagian bawah diberi palemahan sebagai lambang bumi atau dunia bawah. Di tengah-tengah kelir diberi sebuah lampu yang disebut bléncong, ini merupakan simbol sinar matahari atau sinar kehidupan. Boneka wayang adalah lambang dunia individu atau kosmis, bisa berupa tokoh-tokoh yang menggambarkan karakter manusia, juga tokoh-tokoh yang melukiskan makhluk hidup lainnya.
Alam semesta diciptakan oleh Tuhan berhubungan dengan keberadaan manusia, terutama unsur-unsur kehidupan. Manusia harus memahami alam semesta yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan, agar hidupnya selalu selamat. Tuhan memberikan arah atau kiblat dalam hidup manusia, agar supaya kehidupan orang itu tidak salah arah. Di dalam kebudayaan Jawa arah itu disebut kiblat papat lima pancer, yang artinya empat penjuru dan satu sebagai pusat di tengah. Kiblat papat itu diberi nama purwa/wétan (timur), daksina/kidul (selatan), pracima/kulon (barat), untara/lor (utara); dan pancer atau madya (tengah). Dalam pandangan Jawa, kiblat papat ini diidentikkan dengan tempat saudara empat dan kelima pancer, yang disimbolkan dengan warna putih di timur, merah di selatan, kuning di barat, hitam di utara, dan biru di tengah. Kiblat alam semesta ini selalu diawali dari arah timur atau purwa. Kata purwa berarti pertama atau asal mula, juga dikatakan wétan yang diperkirakan berasal dari kata wit-an yang berarti “pertama” (Endraswara, 2003: 7).
Di dalam pewayangan keseimbangan kiblat itu digambarkan dalam wujud Kreta Jaladara tinarik jaran papat kunusiran rasa sejati, yaitu kereta kendaraan Raja Kresna yang ditarik oleh empat ekor kuda yang berwarna putih diberi nama Ciptawilaha, yang merah diberi nama Abrapuspa, yang kuning diberi nama Sonyasakti, dan yang hitam diberi nama Sukantha. Masing-masing kuda tersebut memiliki kesaktian berbeda-beda, tetapi mereka bersatu dan saling melilindungi. Dalam kehidupan orang Jawa, arah kiblat tersebut senantiasa harus menyatu dalam posisi yang seimbang. Jika terjadi ketidak seimbangan di antara empat saudara itu maka hidupnya akan terganggu. Sebaliknya jika hubungan antara manusia dengan keempat saudaranya itu harmonis dan seimbang, keempat saudara itu akan selalu membantu (ngreréwangi).
Mengenai sedulur papat lima pancer, Susilo (2002) berpendapat bahwa, kata sedulur atau “saudara” merupakan simbol sifat nafsu setiap manusia, yaitu keinginan dan dorongan hati yang kuat baik ke arah kebaikan maupun kejahatan. Dalam pandangan hidup Jawa empat saudara tersebut dilambangkan dengan warna, misalnya warna merah melambangkan sifat nafsu berangasan atau amarah, warna hitam sebagai lambang sifat nafsu angkara murka atau lauamah, warna kuning melambangkan nafsu birahi atau supiyah, dan warna putih sebagai lambang nafsu kesucian atau mutmainah.
Istilah sedulur papat lima pancer ini juga berhubungan erat dengan kakang kawah adhi ari-ari. Bayi sebelum lahir yang keluar lebih dulu adalah air ketuban yang dalam bahasa Jawa disebut kawah. Karena air ini keluar lebih dulu, maka disebut kakang artinya saudara tua. Setelah bayi itu lahir, baru keluar plasenta yang disebut ari-ari. Kata ari dalam bahasa Jawa mempunyai arti sama dengan adhi, artinya saudara yang lebih muda. Selain itu kelahiran bayi juga diiring keluarnya darah dan gumpalan-gumpalan daging. Jadi saudara empat yang dimaksud terdiri dari air ketuban, darah, daging, dan plasenta atau dalam bahasa Jawa disebut kawah, getih, daging, ari-ari. Adapun yang dimaksud pancer adalah bayi yang lahir itu sendiri atau badan manusia yang hidup sebagai makhluk sempurna ini. Di dalam pertunjukan wayang sedulur papat lima pancer ini disimbulkan dengan ksatriya tampan yang selalu diiring oleh empat abdinya yang disebut Panakawan, yakni Arjuna yang diiring Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Orang Jawa berbicara tentang kosmos otomatis meyinggung tentang hakikat kekuasaan Tuhan. Jadi manusia, kosmos, dan Tuhan adalah suatu kesatuan yang mutlak tidak dapat dipisahkan. Mengenai korelasi manusia dan kosmos, serta Tuhan ini Louis Leahy (2002) berpendapat bahwa, kita megenal Tuhan secara positif dengan memberi-Nya beberapa sifat yang kita ketahui, misalnya sifat ada, sifat baik, sifat pengertian. Akan tetapi sifat-sifat yang kita ketahui itu selalu terbatas. Cara kita sendiri untuk mengetahui telah membuat kita tidak mampu untuk melukiskan suatu kesempurnaan yang tak terbatas. Oleh sebab itu di dalam kehidupan sehari-hari, setiap gagasan kita dikaitkan dengan suatu “representasi”, yaitu dengan suatu gambaran materiil dari suatu obyek yang diberikan oleh panca indera. Kebergantungan ekstrinsik terhadap materi ini membuat pengetahuan manusia secara hakiki terikat pada dunia dan tidak sesuai untuk menangkap realitas Ilahi secara memadai. Oleh sebab itu manusia harus menggunakan istilah-istilah negatif pada waktu berusaha memikir atau membahas perihal Tuhan. Ia sungguh berbeda dengan pengalaman manusia sehari-hari. Ia bersifat tak terbatas, tidak bersebab, dan tidak berakhir. Malahan dapat dikatakan bahwa Dia tidak bersifat baik, tidak berakal, namun dalam hal ini manusia harus berhati-hati, karena jikalau mengingkari bahwa Tuhan adalah baik dan berakal, bukan maksud kita bahwa Dia tidak mempunyai sifat-sifat itu, kecuali hanya bahwa Dia bukan memilikinya dengan cara terbatas yang terkandung di dalam konsep-konsep manusiawi. Dengan demikian, maka telah jelas bahwa setiap kali manusia menggunakan salah satu konsep mengenai diri Tuhan, mereka harus memperbaikinya, dengan meniadakan sifat terbatas dan materiil yang hakiki itu. .
C. Ajaran Kepemimpinan dan Mengenal Lingkungan.
Lakon Wahyu Makutharama merupakan salah satu lakon populer dalam pertunjukan wayang. Lakon ini pada hakikatnya adalah ajaran kepemimpinan yang mentauladani sifat-sifat delapan anasir alam semesta, yang disebut Hastha-Brata. Ajaran ini merupakan jalan pemahaman kosmologis menuju ”kemanunggalan” antara jagad cilik (alam individu) dan jagad gedhé (alam semesta). Barang siapa dapat melaksanakan delapan jalan utama tentang alam semesta akan disebut raja, sebaliknya manusia yang tidak dapat menjalankan delapan jalan utama itu akan disebut raja tak bermahkota. Seperti yang disampaikan oleh Nartasabda, wejangan Hastha Brata dari Begawan Kesawasidhi yang diberikan kepada Arjuna. Hastha Brata berupa delapan ajaran yang mentauladani watak alam, yang terdiri atas: (1) surya atau matahari, (2) candra atau bulan, (3) kartika atau bintang, (4) himanda atau awan, (5) kisma atau bumi, (6) dahana atau api (7) tirta atau air, dan (8) samirana atau angin. Simbol-simbol tersebut bukanlah semata-mata merupakan lambang sebagai ketauladanan watak saja, akan tetapi juga mengandung nilai pendidikan untuk memahami sifat-sifat dari tiap-tiap unsur alam itu, sehingga memberikan pemahaman bagi manusia betapa pentingnya keberadaan semua unsur alam itu bagi kehidupannya. Dengan demikian manusia tidak memperlakukan alam ini secara semena-mena. Adapun Hastha Brata itu jika ditinjau dari aspek kosmologi dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Watak Surya
Matahari memiliki daya kekuatan menyinari alam semesta. Dengan adanya matahari, segala makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi dapat hidup, tidak memandang besar kecil, tinggi rendah, baik dan buruk, semua mendapat sinar matahari. Matahari menyinari samodera, air samodera menguap menjadi awan, di angkasa awan mencair manjadi air hujan. Jatuhnya air hujan ke bumi, menjadikan bumi subur dan segala sesuatu yang tumbuh di bumi menjadi subur. Di dalam alam individu (kosmis) manusia juga memiliki daya semangat yang didorong oleh kekuatan nafsu dan kehendak dalam hidup manusia. Semangat dalam jiwa manusia ini mempunyai peran sama seperti matahari dalam dunia makro. Ketika manusia masih memiliki daya semangat yang besar, akan selalu memanfaatkan hidupnya untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya. Semangat manusia itu akan menyinari semua unsur biologis yang berhubungan dengan kehendak, cita-cita, ide, dan pikiran, sehingga semua unsur itu akan bergerak secara terus menerus sesuai dengan peranannya dalam kehidupan ini. Tetapi apabila semangat itu padam, maka semua unsur itu tidak akan bergerak lagi, artinya hidup manusia ini tidak berguna lagi. Maka seorang pemimpin bagsa, selain perlu mentauladani sifat matahari, harus memahami pula kedudukan matahari itu dalam keteraturan semesta. Dengan memahami kedudukan matahari di dunia ini, maka manusia akan menyadari betapa pentingnya matahari ini bagi kehidupan semesta, atas kesadaran itu tentunya manusia akan tersentuh nuraninya untuk selalu menjaga segala perbuatannya yang sekiranya akan mengganggu kelestarian alam. Misalnya langkah-langkah riil yang dilakukan oleh orang-orang Amerika tentang pencegahan green haouse effect, larangan tentang seeking corral, dan pemerintah Indonesia sekarang juga melarang perusahaan-perusahaan besar menggunakan bahan-bahan kimia yang berakibat merusak lapisan ozon, dan lain sebagainya.
2) Watak Candra
Bulan memantulkan cahaya karena mendapat sinar dari matahari, cahaya itu memantul ke bumi menerangi di waktu malam hari. Cahaya bulan memiliki daya sejuk dan menenteramkan hati yang memandangnya, maka bulan dapat dikatakan sebagai lentera kehidupan. Bagi orang Jawa, Rembulan juga digunakan sebagai pertanda waktu (penanggalan), rotasi bulan mengitari bumi selama tiga puluh hari dalam satu bulan. Di lihat dari bentuk penampilan bulan dalam satu bulan, orang Jawa mengelompokkan tampilan bulan itu dalam tiga tahap, sepuluh hari pertama disebut wulan tumanggal, purnamasidhi, dan panglong atau pangreman. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu perlambang dalam kehidupan manusia, bahwa kehidupan ini semua selalu lahir dari kecil. Dalam perjalanan ruang dan waktu manusia berkembang menjadi besar, dan suatu saat mengalami puncak kesuksesan dalam hidupnya. Tetapi manusia yang sukses itu tidak akan selamanya dapat menikmatinya, karena usia manusia terbatas, jasmani manusia dapat rusak suatu saat harus kembali ke asal mulanya melalui jalan kematian.
3) Watak Bintang (Kartika)
Bintang menjadi simbol panutan dan keindahan. Orang Jawa sejak dulu telah mengenal ilmu falak atau astronomi, yaitu ilmu tentang posisi, gerak, struktur, dan perkembangan benda-benda di langit, serta sistem-sistemnya (Bagus, 2005: 91). Nenek moyang orang Jawa hidup sebagai pelaut, maka bintang menjadi petunjuk arah yang utama. Bintang-bintang yang dianggap sebagai petunjuk itu diberi nama-nama dalam bahasa Jawa sesuai dengan kelompok dan bentuk posisinya. Misalnya: lintang luku, yaitu kelompok bintang yang posisinya membentuk luku atau bajak; lintang gubug pèncèng, yakni kelompok bintang yang posisinya membentuk rumah reot; lintang jaka bèlèk, yaitu bintang yang cahayanya tidak terang bagaikan mata yang sedang sakit; lintang banyak angrem, ialah kelompok bintang yang posisinya seperti angsa sedang mengeram; lintang panjer rahina, yaitu bintang yang munculnya pagi hari di sebelah timur; lintang kemukus yaitu bintang berekor (commet) yang muncul pada saat-saat tertentu saja, bintang ini dipandang sebagai pertanda buruk; lintang Bhimasakti atau galaksi, yaitu kelompok bintang yang membentuk tubuh wayang Bhima, kakinya sedang digigit naga. Bintang ini apabila posisinya berada di tengah-tengah langit, menjadi pertanda waktu tengah malam. Gerak dan posisi semua bintang tersebut selalu diikuti oleh masyarakat Jawa tempo dulu, karena perjalanan bintang-bintang itu ada hubungannya dengan pergantian musim atau pranata mangsa. Maka bagi para nelayan yang akan melaut atau pun para petani yang akan bercocok tanam selalu mengikuti perjalanan bintang-bintang tersebut, agar mendapatkan hasil panen yang memuaskan.
Selain itu, orang Jawa juga mengenal horoskup. Nama-nama bintang digunakan sebagai lambang meramalkan watak orang dilihat dari hari kelahiranya. Hal ini dalam ngilmu Jawi disebut Palintangan. Watak orang dapat dibaca menurut bintangnya, adapun bintang itu dapat diketahui melalui hari dan pasaran kelahirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bintang merupakan simbol yang mecerminkan perwatakan atau sifat-sifat tiap-tiap manusia. Berbagai bintang di langit dipandang sebagai sejumlah perwatakan manusia di dunia yang selalu berbeda satu dan lainnya.
Orang Jawa juga telah mengenal astrologi, yaitu ilmu meramalkan sesuatu yang akan terjadi berdasarkan bintang-bintang. Astrologi ini dalam budaya Jawa lebih dikenal dengan istilah Pawukon, berasal dari kata Wuku. Pengetahuan ini diilkhami oleh mitos Jawa yang sangat populer yaitu mitos Watugunung. Konon Prabu Watugunung adalah raja Gilingwesi sangat sakti mandraguna, memiliki dua orang istri bernama Dewi Sinta dan Dewi Landhep, menurunkan anak sejumlah dua puluh tujuh orang semuanya laki-laki. Watugunung bersama keluarganya itu setelah gugur dalam peperangan melawan Dewa Wisnu, oleh Sang Hyang Pramesthi Guru diijinkan suksma mereka tinggal di surga. Suksma Watugunung dan keluarganya itu yang selanjutya disebut sebagai wuku.
4) Watak Awan (Himanda )
Awan dipandang sebagai lambang watak adil. Awan adalah uap air yang berasal dari tempat yang rendah seperti laut, sungai, rawa, dan lembah-lembah. Disebabkan oleh terik matahari, air menguap menjadi awan. Gumpalan-gumpalan awan itu dibawa oleh angin membubung ke angkasa. Di angkasa gumpalan-gumpalan awan itu menyatu dengan lainnya hingga mampu menutup angkasa yang terang menjadi gelap gulita. Akan tetapi ketika awan itu mencapai ketinggian tertentu dan suhu dingin tertentu, akan mencair dan menjadi air hujan yang akhirnya jatuh kembali ke bumi serta menyejukkan semua kehidupan di bumi. Oleh karena itu seorang pemimpin perlu memahami sifat-sifat awan, bahwa sesungguhnya tidak ada keberhasilan dalam kehidupan ini yang dicapai secara tiba-tiba. Setiap manusia perlu mengingat asal-usul dan riwayatnya, sehingga pada saat menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada dirinya akan mudah selalu introspeksi. Ketika ia menghadapi kesusahan tidak putus asa, dan ketika hidupnya sukses tidak lupa daratan. Sekarang banyak dijumpai figur-figur pemimpin yang senang mengumbar janji, pada hal janji itu hanyalah sekedar janji yang tidak pernah ada realisasinya. Ini merupakan salah satu gejala krisis moral, karena manusia didorong oleh kehendak yang tidak disertai ketajaman nuraninya. Manusia cenderung berpikir prakmatis, sehingga buta terhadap nilai-nilai filosofis. Dengan memahami sifat-sifat awan ini, paling tidak manusia akan memiliki watak bijaksana; jika menjadi seorang pemimpin bangsa akan berwatak adil paramarta, sebagaimana awan ketika menjadi air hujan menyirami bumi seisinya.
5) Watak Bumi
Bumi adalah tempat berpijak semua makhluk yang ada di atasnya, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan segala sumber kekayaan alam terkandung di dalamnya. Meskipun bumi ini diinjak-injak oleh manusia setiap hari, dicangkul para petani, bahkan digali, dikeduk, diambil hasil tambangnya, tetapi bumi tidak pernah mengeluh. Bumi selalu memberikan kebahagiaan kepada semua makhluk yang menempatinya. Contoh: para petani yang rajin mengolah tanah, bercocok tanam, mereka akan menuai buah atau hasil tanamannya yang berlipat ganda dari biji atau bibit yang ditanam. Para binatang mendapatkan makanannya berupa rumput, ubi-ubian, biji-bijian dan sebagainya berkat kesuburan bumi. Tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur dan berkembang biak karena kesuburan bumi, bahkan segala kebutuhan manusia dan makhluk-makhluk lainnya telah tersedia di bumi ini. Bumi menerima sinar matahari dan jatuhnya air hujan, mengakibatkan segala macam tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan subur, dan semua itu untuk memenuhi kebutuhan manusia dan semua makhluk yang membutuhkannya. Bumi tidak pernah meminta imbalan berupa apapun kepada manusia ataupun makhluk-makhluk lain yang memanfaatkan jasanya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia sebagai makhluk berpikir bebas berbuat apa saja asal terpenuhi kebutuhannya, dengan tanpa memperhitungkan kelestarian bumi. Perlunya memahami watak bumi tidak sekedar mentauladani secara simbolik, akan tetapi manusia perlu memahami watak-watak bumi ini agar dapat mengerti bagaimana mensikapi dan memperlakukan bumi ini agar selalu terjaga keseimbangan dan keserasian dalam hidup bersama secara tertib dan damai. Dengan demikian manusia akan terhindar dari terjadinya berbagai bencana di bumi yang merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri.
6) Watak Api (Dahana)
Api merupakan salah satu anasir alam yang memiliki daya panas. Energi api dapat digunakan untuk melebur apa saja, bergantung yang memanfaatkan. Jika api itu dimanfaatkan secara positif, akan membuahkan hasil yang positif pula. Misalnya, api digunakan untuk membakar besi hingga meleleh, besi itu dijadikan pisau, atau pun peralatan pertanian, berguna untuk mengolah tanah, bercocok tanam. Api digunakan untuk memasak bahan makanan, menghasilkan masakan yang menjadi sehat untuk dimakan. Api digunakan untuk melehkan logam mulia, menghasilkan perhiasan, dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, apabila api itu digunakan untuk hal-hal negatif, kemungkinan akan merusak dan merugikan kehidupan ini. Misalkan: api untuk membakar rumah, membakar hutan, membakar pasar, dan sebagainya, jelas hal itu berakibat merugikan bagi kehidupan masyarakat. Ini merupakan simbol semangat yang ada dalam diri manusia, semangat itu jika diarahkan kepada hal-hal yang positif niscaya akan membuahkan hasil yang maslahah bagi kehidupan. Sebaliknya jika semangat itu tidak dikendalikan, cenderung mengarah kepada hal-hal negatif, pasti akan merugikan bagi kehidupan, baik diri sendiri maupun orang lain. Api membara selalu dalam posisi tegak dan berpijar ke atas, ini merupakan simbol sifat tegas dalam menegakkan keadilan. Sebagai pemimpin hendaknya bersikap seperti bara api, selalu bersemangat, bersikap tegas dalam menegakkan keadilan. Tanpa pandang bulu, siapa saja yang menjadi penghalang dan perusuh negara harus ditumpas, yang berbuat salah harus dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. sebaliknya bagi siapa saja yang patuh kepada peraturan negara harus diayomi.
7) Watak Air (Banyu)
Air adalah anasir alam yang selalu menjadi sarana kehidupan. Di mana-mana ada air di situlah ada kehidupan. Meskipun demikian air tidak selalu memiliki sifat ramah, suatu ketika juga menunjukkan sifat kejam. Air di laut menghidupi segala macam isi lautan, dari makhluk hidup yang paling kecil sampai yang paling besar hidup karena air. Manusia dan segala macam binatang di daratan, serta tumbuh-tumbuhan yang menancap di muka bumi, semuanya membutuhkan air. Begitu pula tumbuh-tumbuhan yang ada di atas bukit, di pucuk gunung hidup karena air. Akan tetapi suatu ketika air juga dapat membahayakan; air laut meluap menimbulkan tsunami. Ketika manusia memperlakukan air secara proporsional, mungkin tidak akan terjadi hal-hal yang membahayakan. Akan tetapi ketika manusia memperlakukan lingkungan tidak sesuai dengan aturan atau norma ekosistem yang berlaku, kemungkinan akan berakibat fatal. Perubahan sifat-sifat hakiki air itu sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Tetapi pada hakikatnya air bersifat rata, di mana ada tempat rendah selalu terisi oleh air sesuai dengan luas dan kedalamannya. Seorang pemimpin hendaknya dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya secara adil, pegertian adil dalam hal ini adalah proporsional, sesuai dengan kemampuan, kedudukan, dan beban kebutuhan yang harus disandang oleh rakyatnya.
Begitulah pemahaman tentang sifat air yang dimaksud dalam Hastha Brata yang diungkapkan melalui wejangan Kesawasidhi terhadap Arjuna. Air menjadi sumber penghidupan. Yang dimaksud penghidupan dalam hal ini tidak hanya bagi makhluk manusia, tetapi mencakup segala makhluk termasuk binatang dan tumbuhan. Jadi seorang pemimpin harus dapat memberi penghidupan kepada siapa saja yang mempunyai hak untuk dihidupi (Nartasabda, Kusuma Rec. : 8A).
 8) Watak Angin (Samirana)
Angin adalah anasir alam yang selalu menelusuri berbagai ruang dan waktu, yang sempit, yang luas, yang tinggi, yang rendah, di puncak gunung, di dasar lautan, baik di waktu siang maupun malam, semuanya dilalui oleh angin. Hal ini sesuai dengan pandangan Jawa bahwa pemimpin harus dapat manjing ajur-ajèr, artinya harus bersifat “luwes” atau fleksible dalam bergaul atau srawung di dalam masyarakat. Seorang pemimpin harus dapat menyelami segala keadaan lingkungan di sekitarnya, cara memperhatikan rakyatnya tidak membeda-bedakan derajat, pangkat dan golongan, serta tempat tinggal, semuanya dapat merasakan pancaran kasih sayang pemimpinnya. Selain itu seorang pemimpin harus bersikap empan-papan, artinya selalu dapat menyesuaikan diri dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi. Ketika menjalankan kedinasan seorang pemimpin harus bersikap disiplin sesuai dengan kewajiban kedinasan. Ketika di rumah, seorang pemimpin harus menjadi pengayom keluarga dan suritauladan masyarakat sekitarnya sebagai seorang penduduk masyarakat yang baik, jangan sampai terjadi urusan kedinasan dibawa-bawa ke keluarga ataupun masyarakat. Dalam pandangan Jawa dikatakan mbédakaké pribadi lan makarti.
Sebagaimana disampaikan Nartasabda dalam wejangan Hastha Brata terakhir, bahwa angin sebagai tauladan seorang pemimpin harus berwatak supel dalam bergaul. Oleh karena rakyat yang dipimpin itu terdiri dari bermacam-macam golongan atau kasta, ada yang kasta Brahmana, Kasta Waisya, dan kasta Sudra, yang semuanya telah berada dalam golongannya masing-masing, para para pemimpin harus mampu menyelami mereka dengan sikap yang menyenangkan (karya nak tyasing sesama). Para Brahmana akan tenang bersemadi jika merasa tentram hatinya, para waisya akan tekun bekerja jika dilindungi ketentraman, begitu pula para sudra akan senang hatinya jika merasa tenteram hidupnya (Kusuma Rec.: 8A).
D. Kesimpulan
Kehidupan manusia dengan keberadaan dunia semesta ini kenyataannya tidak dapat dipisah-pisahkan atau pun terlalu dibedakan, karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Hubungan antara manusia dan dunia ini didasarkan atas beberapa keyataan dalam bentuk kesatuan. Pertama adalah kesatuan objektif. Manusia tidak hanya merupakan bagian dari dunia semata. Pribadi manusia hanya dalam hubunganya dengan manusia lain dan dunia pada umumnya; sebaliknya dunia hanya didapatkan dalam hubunganya dengan manusia. Refleksi kongkrit dan menyeluruh atas individu manusia juga merupakan refleksi atas dunia; demikian pula sebaliknya. Maka sangat jelas bahwa dunia tidak mungkin dipahami tanpa adanya manusia, demikian juga manusia tidak mungkin tanpa dunia. Manusia dan dunia saling mengandung dan saling berimplikasi. Kedua adalah kesatuan formal. Refleksi manusia atas pribadinya bersama-sama dunia merupakan jalan yang mungkin satu-satunya. Hanya manusialah yang bertanya mengenai dunia, juga manusia saja yang benar-benar memiliki suatu proyek tentang dunia. Dengan demikian berarti hanya manusialah yang mempunyai hubungan dengan dunia secara sadar. Hanya di dalam diri dan melalui manusia sendiri dunia dapat disentuh secara formal sesuai hakikatnya, atau menurut mengadanya. Seumpama tidak berawal pada pengalaman manusia tentang dunia sendiri, maka filsafat membuat anomali yang tanpa dasar. Tanpa pengalaman sadar itu, dunia hanya didekati dari luar, tidak ada korelasi yang dekat, dan hanya akan menghasilkan pengetahuan yang berciri empiris semata. Jadi hanyalah refleksi atas otonomi-dalam-korelasi melalui manusia dapat memberikan pandangan tentang dunia secara hakiki.
DAFTAR ACUAN
Pustaka
Adrongi, Kosmologi/Filsafat Alam Semesta. Kebumen: CV. Bintang Pelajar,
1986.
Bakker, Anton, Kosmologi & Ekologi Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Ciptopawiro, Abdullah , Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Hardiyanti Rukmana, Butir-Butir Budaya Jawa Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatinig Becik. Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1990.
Hariwijaya, 2.500 Kata Bijak dari Jawa. Jakarta: Setia Kawan, 2005.
Harsaja, Siswa, Pakem Makutarama. Jogjakarta: Pesat, 1954.
Hazim, Amir, Nilai-Nilai Etis Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997.
Hudoyo, Suryo, Serat Bagawadgita. Surabaya: Djojo Bojo, 1990.
Jasadipura, R.Ng., ”Serat Rama”. Babon Saking Koninklik Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, t.th.
Kats, J., Wayang Purwa. Dordrecht-Holland/Cinnaminson USA: Foris Publication. Translasi K. R. T. Kartaningrat, 1984.
Kattsoff, Louis O., Elements of Philosophy. Terjemahan Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984.
Leahy, Louis Sj., Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, BMK.
Gunung Mulia, 1993.
Moedjiono, Imam, Kepemimpinan dan Keorganisasian. Yogyakarta: UII Press.
Padmasoekatja, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita, Jilid II. Surabaya: Citra Jaya Murti, 1992.
Pendit, S., Nyoman, Mahabharata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
_______________, Ramayana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Poerwadarminta, W.J.S., Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uttgevers-Maatschappu n.v., 1939.
Poespaningrat, Pramoedjoe, R.M. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT. BP. Kedaulatan Rakyat, 2005.
Prawiraatmadja, Ngungak Isining Serat Astha Brata. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan Kem. P.P. dan K., 1958.
Rachels, James, Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Scheler, Max, Nilai Etika Aksiologis, terjemahan Paulus Wahana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Sastra Amidjaja, Sena, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.
Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002.
Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik. Surakarta: STSI Press,
2005.
Susetya, Wawan., Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2007.
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Warna, I Wayan, “Kakawin Ramayana I, II”. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I, 1987.
Wignjasoetarna, Lampahan Makutarama Pedalangan Ringgit Purwa Wacucal.
Surakarta: Yayasan P.D.M.N., 1972.
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jogyakarta: Kanisius,1990.
Audio
Nartasabda, Wahyu Sri Makutharama. Klaten: Kusuma Record, tth.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar